Senin, 02 Mei 2016

TOKOH-TOKOH HUKUM ISLAM

Tokoh-tokoh hukum Islam
Perbedaan pendapat tentang hukum-hukum Islam yang dewasa ini sering meninggalkan tanda tanya hingga menimbulkan perpecahan ternyata sudahlah muncul bahkan di zaman Nabi SAW. Suatu ketika Nabi mengutus serombongan Sahabat untuk pergi ke Bani Quraizah. Sebab mereka berangkat agak siang, Nabi berpesan, “Janganlah kalian shalat Ashar kecuali kalian telah tiba di perkampungan Bani Quraizah.” Namun sayang, perjalanan memakan waktu yang tidak diharapkan. Sebelum Sahabat sampai, Maghrib sudah hampir menjelang. Sebagian mereka memutuskan untuk shalat Ashar karena waktunya sudah hampir habis dan sebagian lagi memutuskan untuk tidak shalat Ashar, sesuai dengan pesan Nabi, kecuali telah sampai di Bani Quraizah.


            Jelaslah. Walaupun para sahabat mendengarkan bersama-sama perkataan Nabi SAW, perbedaan keputusan hukum akibat perbedaan pemahaman masing-masing tercipta. Tak hanya sekali, tak hanya pada masa tertentu, tak hanya pada tempat tertentu, setiap ulama belajar dari guru yang berbeda, mendengar dan memahami dengan cara berbeda, dan kemudian memiliki keputusan hukum yang berbeda ketika mereka menghadapi sendiri masalah dalam hukum Islam.


MAZHAB-MAZHAB

            Dikenal beberapa Mazhab dalam sejarah pengkajian hukum Islam. Secara umum Mazhab-Mazhab tersebut dipisah menjadi dua kelompok besar, yaitu: Mazhab Sunni dan Mazhab Syi’i.

            Untuk mengenal tokoh-tokoh, fikiran-fikiran dan pengaruhnya pada kaum muslimin, maka perlu diketahui tentang mazhab-mazhab tersebut mulai dari Mazhab-Mazhab dalam Mazhab Sunni hingga Mazhab-Mazhab dalam Mazhab Syi’i. Dari yang masih hidup sampai sekarang hingga yang sudah punah. 


((Mazhab-Mazhab Sunni))

Mazhab Hanafi

            Mazhab yang berkedudukan di Kufah ini merupakan salah satu Mazhab empat dari golongan Sunni. Nama dan Mazhab ini diambil dari ulama bernama an-Nu’man bin Tsabit (80 H-150 H) yang lebih dikenal dengan julukan atau gelar Imam Abu Hanifah. Meskipun besar di kalanangan keluarga pedagang, Abu Hanifah tetap mempunyai kecenderungan yang tinggi dalam memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh para tokoh dan ilmuan seperti Imam Ibn al-Mubarak, Imam Ali bin Ashim, Khalifah Harun ar-Rasyid, dan Imam Abu Yusuf, bahkan Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i, beliau teekenal dan diakui sebagai sebagai orang yang sangat cerdas dan sangat cerdik. Terbukti pula dari mashurnya nama Abu Hanifah sebagai mujtahid hingga saat ini.

            Dikenal sebagai seorang yang rajin menuntut ilmu, Abu Hanifah awalnya mempelajari semua ilmu keagamaan, dan setelah menguasai segala bidang ilmu, barulah beliau mulai memfokuskan diri pada bidang Fiqih. Hammad bin Abi Sulaiman—seorang ulama besar pada saat itu adalah guru yang mengajarkan Fiqih kepada Abu Hanifah selama lebih kurang 18 tahun, hingga gurunya meninggal pada tahun 120 H.  

            Selepas gurunya meninggal, beliau menggantikan posisinya sebagai guru dan menjadi ulama terkenal di Kufah. Fatwa-fatwa beliaulah yang menjadi dasar dalam pemikiran Mazhab Hanafi yang dikenal hingga sekarang. Beliau dikenal sebagi mujtahid oleh para fuqaha atas dasar keahliannya dalam merumuskan kaidah dan pedoman dalam berijtihad. 

            Metodologi kajian Fiqih Imam Abu Hanifah mencerminkan aliran Ahli ar-Ra’yi, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua. Beliau pernah berkata: “Aku memberikan hukum berdasarkan al-Qur’an; apabila tidak aku  jumpai dalam al-Qur’an, maka aku gunakan as-Sunnah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya, maka aku dasarkan pada pendapat para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada satu pendapat saja”. Beliau juga berkata: Aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad, dan berpegang kepada kebenaran yang didapat seperti mereka juga.

            Berikut contoh pemikiran-pemikiran Imam Abu Hanifah:

1.)    Kemudahan dalam beribadah.
Contoh: seseorang ketika di malam yang gelap atau di saat-saat yang sulit hendak menentukan arah kiblat, maka hukum shalatnya adalah sah, meskipun didapati ternyata tidak menghadap kiblat, tetapi dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.

2.)    Memelihara kehormatan dan perikemanusiaan.
Contoh: bagi anak-anak perempuan yang sudah mencapai umur untuk mencari pasangan hidup tidak dibenarkan ada paksaan wali. Perkawinan yang dilakukan secara paksa terhadap anak perempuan tersebut hukumnya tidak sah.

3.)    Memberikan kuasa penuh kepada raja dan pemimpin negara.
Contoh: Raja atau pejabat berhak mengendalikan kekayaan negara seperti tanah dan sebaginya demi kepentingan umum. Raja atau orang yang berkuasa berhak memberikan hadiah-hadiah kepada pejuang-pejuang atau prajurit-prajurit tanah air sebagai penghargaan kepada mereka, serta berhak juga membagi tanah-tanah yang belum dibuka untuk wilayah-wilayah negara.
             
             Adapun, dalil-dalil yang digunakan oleh Mazhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan urutannya adalah:
1.      Al-Qur’an,
2.      As-Sunnah,
3.      Perkataan Sahabat,
4.      Al-Qiyas,
5.      Al-Istihsan dan
6.      Al-Urf.

Selain tersebar dan bahkan pernah dijadikan sebagai Mazhab resmi negara di Iraq, Mazhab Hanafi ini juga tersebar ke beberapa daerah sampai saat ini seperti di Turki, Syiria, Afganistan, India, Pakistan dan Mesir.


Mazhab Maliki

            Nama dan Mazhab ini diambil dari nama seorang ulama bernama Imam Malik bin Anas (93 H-179 H) yang lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqih yang terkenal di Madinah. Imam Malik yang hidup dari keluarga pengrajin ini termasuk orang yang sangat kuat hafalannya. Di usia remaja, beliau mulai menghafal al-Qur’an dan menjadi hafidz yang baik, selain itu, beliau secara cepat sanggup enghapal hadits-hadits yang diajarkan oleh para gurunya seperti Ibnu Syihab az-zuhri, Ibnu Hurmuz, dan Naf’i. Sementara Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id al-Anshari merupakan guru beliau dalam bidang fiqih.

            Dikenal akan kehati-hatiannya yang luar biasa baik dalam memberikan fatwa hukum maupun dalam meriwayatkan hadits, beliau baru memberikan fatwa dan meriwayatkan hadits setelah para gurunya mengakui bahwa beliau ahli dalam bidang fiqih maupun hadits. Imam Malik pernah berkata: “Saya tidak memberi fatwa dan meriwayatkan hadits sehingga ulama membenarkan dan mengakui”.

            Imam Malik melakukan metode pengajaran dengan mendasarkan pada ungkapan hadits dan pembahasan atas makna-maknanya kemudian mengaitkan dengan konteks permasalahan yang ada pada saat itu. Terkadang beliau menelaah masalah-masalah yang terjadi di daerah asal murid-muridnya, lalu mencarikan hadits-hadits atau atsar-atsar (pernyataan sahabat) yang bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Beliau jelas dikenal sebagai Ahli al-Hadits karena beliau sangat menghindari spekulasi.

            Dalil-Dalil yang digunakan oleh Mazhab Maliki dalam menetapkan suatu hukum, secara berturut-turut adalah:
1.      Al-Qur’an,
2.      As-Sunnah,
3.      Amal ahli Madinah (Praktik masyarakat Madinah),
4.      Fatwa Sahabat,
5.      Al-Qiyas,
6.      Al-Mashlahah al-Mursalah,
7.      Al-Istihsan,
8.      Adz-Dzari’ah.

Sampai saat ini, Mazhab Maliki masih banyak diikuti dan mereka tersebar di beberapa negeri antara lain: Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.


Mazhab Syafi’i

            Seperti sebelumnya, nama dan Mazhab ini juga mengambil dari nama Imam yang menjadi tokoh utama, beliau adalah Imam asy-Syafi’i yang pemikirannya banyak diikuti oleh pengikut Mazhab ini. Ulama besar bernama lengkap Muhammad bin Idnis asy-Syafi’i ini lahir pada tahun 150 H di daerah Ghazzah.

            Jika diurutkan silsilah beliau bertemu dengan silsilah rasul pada kakeknya yang bernama Abdu Manaf. Secara lengkap silsilah beliau ke atasa adalah Muhammad bin Idris bin ak-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as–Said bin Abdi Yazid bin Hasrim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf.
             
            Beliau dibawa ke Makkah oleh ibunya setelah ayahnya meninggal. Beliau mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Diriwayatkan bahwa sebelum dewasa beliau sudah hafal al-Qur’an dengan sempurna dan telah pula menguasai kitab al-Muwaththa’. Muslim bin khalid dan Sufan bin Uyainah di Makkah, kemudian Imam Malik di Madinah adalah nama-nama guru beliau.  
            
            Setelah meninggal dunianya Imam Malik, Imam asy-Syafi’i kembali ke Yaman dan bekerja selaku pegawai pemerintah. Hingga terjadilah pemberontakan dan pihak oposisi pemerintah dan Imam asy-Syafi’i dituduh mendukung pihak oposisi, karena itulah beliau dibawa ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad, namun  beliau mampu membuktikan kebenaran pendapatnya dan terbebas dari tuduhan. Terbukti betapa beliau adalah sosok yang pandai.

            Belum berhenti di Iraq, pengembaraan Imam asy-Syafi’i dalam mencari ilmu berlanjut di Mesir dengan tujuan hendak belajar dengan Imam al-Laits, namun belum sampai di Mesir Imam al-Laits telah meninggal. Tanpa putus asa Imam asy-Syafi’i terus meneladani ajaran al-Laits lewat para muridnya. Terus menetaplah beliau di Mesir hingga akhir hayatnya pada tahun 204 H. Ar-Risalah, al-Umm, al-Hujjah, al-Imla’ dan al-Amali adalah beberapa karya beliau.

            Beliau dikenal memiliki dua quid yakni qaul qadim  yang berlangsung di Iraq dan qaul jadid yang berlangsung di Mesir. Dan dalam kajian-kajian hukum, Imam asy-Syafi’i menggunakan dalil-dalil yang secara berurutan sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an,
2.      As-Sunnah,
3.      Al-Ijma’,
4.      Pendapat Sahabat,
5.      Al-Qiyas,
6.      Al-Istishhab,

Imam asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm menyatakan: “apabila seseorang melakukan suatu perjalanan dan ia membawa air, kemudian ia menduga air tersebut tercampuri najis, tetapi ia tidak yakin akan terjadinya percampuran tersebut, maka dalam hal ini air tersebut tetap dihukumi suci, bisa dibuat wudlu’ maupun diminum, hingga orang tersebut yakin benar bahwa air itu telah tercampuri najis”. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa asy-Syafi’i juga menggunakan teori istishhab dalam kajian fiqhnya.

Mazhab Syafi’i sampai saat ini masih banyak pengikutnya dan berkembang di daerah seperti Mesir, Afrika Timur, Persia, Indonesia dan Malaysia.

 
Mazhab Hambali

            Adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang namanya dijadikan sebagai nama Mazhab ini. Lahir di Baghdad pada 164 H Rabi’ al-Awwal, Imam Ahmad yang sejak kecil sudah yatim diriwayatkan sangatlah sederhana di kehidupanmu. Beliau tidak memiliki mata pencaharian tetap ataupun fasilitas dan pemerintahan. Hanya warisan rumah dan tanah juga peralatan penyulaman yang beliau sewakanlah yang menjadi sumbe pendapatannya.

            Seperti para imam Mazhab sebelumnya, beliau juga memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa. Selain menggeluti hadits-hadits, Imam Ahmad juga mendalami ilmu fiqih. Abu Yusuf adalah salah satu dari guru-guru beliau. 

            Imam Ahmad telah melahirkan fatwa-fatwa fiqih dan mempunyai teori-teori kajian fiqih tersendiri, serta memiliki para pengikut yang turut mensosialisasikan fatwa-fatwa maupun teori-teorinya, hingga terbentuklah mahzab Hambali.

            Imam Ahmad adalah orang yang sangat kuat menjaga shalatnya, dalam kondisi bagaimanapun, beliau tidak pernah sekalipun meninggalkan shalatnya. Saat sakit dan tidak mampu menyuci celah jemarinya di berwudlu’, beliau meminta anak-anaknya untuk menyucikannya. Hingga sampai sakitnya semakin parah, Imam ahmad akhirnya meninggal dunia pada tahun 241 H. Di Baghdad jenazahnya dikebumikan dan puluhan ribu pelayat mengiringinya.

            Dalam memberikan fatwa tentang urusan dan hukum agama, Imam Ahmad tergolong yang sangat berhati-hati. Diriwayatkan, beliau tidak akan memberikan jawaban dengan terburu-buru atas persoalan yang dilontaran kepada beliau sebelum persoalan tersebut diketahui dan difahami. Adapun dalam proses kajian hukumnya, Imam Ahmad menetapkan dan menggunakan dalil-dalil atau dasar-dasar yang secara berurutan sebagi berikut:
1.      Al-Qur’an,
2.      As-Sunnah,
3.      Pendapat Sahabat,
4.      Hadits Mursal dan
5.      Al-Qiyas.
 
Memiliki murid yang amat banyak diantaranya Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, sampai saat ini Mazhab Hambali masih banyak diikuti. Para pengikutnya tersebar ke beberapa daerah seperti: Iraq, Mesir, Suria, Palestina, dan Arab Saudi. Bahkan di Arab Saudi, Mazhab ini merupakan Mazhab resmi negara.


Mazhab-Mazhab Punah

Mazhab Auza’i

Masih sama seperti mazhab-mazhab lain, nama Mazhab ini pula diambil dari nama tokoh pendirinya, yaitu Abdurrahman bin Muhammad al-Auza’i. Ulama yang lahir tahun 88 H ini menentang penggunaan al-Qiyas dengan cara berlebihan. Selalu beliau mengembalikan furu’ pada hadits nabi tanpa melakukan kajian al-qiyas.

            Meskipun sebagian besar hidupnya beliau habiskan di Beirut hingga meninggal 157 H, namun Mazhabnya lebih dikenal di Syiria, Yordania, hingga sampai Andalusia atau Spanyol.


Mazhab Laitsi

            Dikembangkan oleh ulama besar Imam Laits bin Sa’ad yang lahir di Mesir pada 94 H dan meninggal pada 75 H, dalil-dalil yang digunakan dalam Mazhab Laitsi melakukan kajian hukum hampir sama dengan para Imam lainnya. Hanya saja Imam Laits tidak sependapat dengan Imam Malik dalam hal penggunaan tradisi masyarakat Madinah sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum. 


Mazhab Tsauri

            Imam Sufyan ats-Tsauri yang lahir pada tahun 97 H adalah ulama terkemuka Kufah yang mengembangkan Mazhab ini. Meskipun hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah, akan tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam penggunaan al-Qiyas dan Istihsan.

            Imam ats-Tsauri pernah menolak tawaran khalifah untuk menjadi qadli dengan syarat tidak akan membuat fatwa yang bertentangan dengan pemerintah. Itulah yang menyebabkan beliau dipaksa untuk berhenti mengajar. Beliaupun wafat pada tahun 161 H dalam persembunyian hidupnya.


Mazhab Dhahiri

            Pelopor mahzab ini adalah murid fiqih dari murid-murid Iman asy-Syafi’i yang bernama Dawud bi All al-Ashbahani yang lahir pada tahun 202 H. Karenanya diriwayatkan beliau mulanya bermazhab syafi’i. Namun, akhirnya beliau mengkritik Mazhab Syafi’i tersebut karena menurutnya asy-Syafi’i tidak konsisten dengan menggunakan al-Qiyas dan menolak al-istihsan, padahal menurut beliau adalah sama antara al-Qiyas dan al-Istihsan.

            Hingga kemudian beliau menggunakan cara sendiri dalam kajian hukumnya, yaitu dengan menekankan pada pemahaman literalis yakni berpegang pada makna harfiyah atau dhahir nash al-Qur’an maupun as-Sunnah. Oleh karenanya, Mazhab yang sempat maju pesat di Spanyol hingga menyebar ke wilayah lainnya ini disebut dengan Mazhab dhahiri, hal yang berlainan dengan Mazhab-Mazhab lain yang dinisbatkan dengan nama tokohnya, sementara mazhab dhohiri ini dinisbatkan dan metode kajian hukumnya.



FAKTOR PENYEBAB HIDUP DAN PUNAHNYA SUATU MAZHAB

·         Faktor yang mempengaruhi tetap eksisnya suatu Mazhab 
       antara lain:
1.      Adanya para munid dan pengikut yang tuna menyebarkan pemikiran-pemikiran Mazhab tersebut.
2.      Adanya karya-karya peninggalan Mazhab yang masih bisa diakses dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
3.      Adanya pengaruh dan campur tangan penguasa dalam menentukan ebijakan dan aturan-aturan hukum suatu negara, seperti kebijakan yang menentukan Mazhab tertentu sebagai Mazhab resmi negara.

·         Faktor penyebab punahnya suatu Mazhab
antara lain:
1.      Adanya pengaruh kebijakan penguasa.
2.      Tidak adanya karya-karya Mazhab yang memadai.
3.       Para murid dan para pengikut yang sedikit dan tidak mampu mensosialisasikan Mazhab tertentu.



((Mazhab-Mazhab Syi’i))

Mazhab Zaidi

            Mazhab yang dipelopori oleh Zaid bin All Zainal Abidin bin Husein bin All bin Abi Thalib yang lahir pada tahun 80 H ini dikatakan oleh Harun Nasution bahwa: Metode dan pendapat-pendapat hukum yang tertulis dalam karyanya tidak berbeda jauh dengan metode dan pendapat-pendapat mazhab sunni. Adapun dalil-dalil untuk menetapkan hukum yang digunakan Imam Zaidi yang meninggal pada tahun 122 H ini, secara berurutan antara lain adalah:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Ijma’ Sahabt
4.      Al-Qiyas, al-Istihsan dan al-Istishlah.


Mazhab Ja’fari

            Nama mazhab ini dinisbatkan pada tokoh utamanya yaitu Imam Ja’far ash-Shadiq yang lahir pada tahun 80 H. Beliau belajar ilmu agama dari kakeknya sendiri, All Zainal Abidin, dan setelah kakeknya meninggal, giliran ayahnya sendiri (Muhammad al-Baqir) yang membinanya.

            Mazhab Ja’fari dalam pola kajian fiqih memiliki ciri tradisonalisme dan syi’ismenya yang nampak jelas. Dalil yang digunakan dalam penetapan hukumnya adalah al-Qur’an, as-Sunnahh dan pemikiran para Imamnya yang berpijak pada mashlahah. Terdapat perbedaan keras dalam penggunaan al-Qiyas Imam Zaidi dan Imam Ja’fari. Imam Ja’far akhirnya meninggal pada tahun 148 H


PERBEDAAN SYI’I DAN SUNNI

            Perbedaan yang ada antara Mazhab Syi’i dan Mazhab Sunni banyak dipengaruhi oleh aspek teologi dan politik. Contoh perbedaan tersebut adalah jika dalam Sunni menerima seluruh hadits tidak melihat dan membatasi periwayatan hanya pada ahiul bait saja, sementara dalam Syi’i sebagian ada yang membatasi bahwa hadits yang bisa diterima adalah hadits yang diriwayatkan oleh ahiul bait saja.

            Prinsip tentang imam ternyata adalah perbedaan lain. Sunni tidak mengenal prinsip kema’suman Imam, sedangkan Syi’i memandang Imam-Imam mereka adalah ma’sum dan kema’sumannya tersebut melahirkan kompetensi pemahaman atas nash al-Qur’an yang tidak bisa dijangkau oleh para ulama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar