Minggu, 22 Mei 2016

Tumbuh Bersama Allah




Tumbuh bersama Allah.
Bersama Allah aku tumbuh.
Tumbuh dari keluarga biasa, hidupku selama 17 tahun ini kulalui bersama-Nya.
 
Tumbuh Bersama Allah
Berbicara soal keagamaan, sejak kecil kedua orangtuaku sudah tentu menjadi madrasah pertama yang tak kenal henti membimbing dan menuntunku untuk melangkahkan kaki hanya pada jalan-Nya. Setiap sore aku mengaji di sebuah surau yang bisa dikatakan tidak dekat dari rumahku. Bersama teman-teman yang bersemangat, rasa lelah hampir tak pernah menyusup masuk didiriku saat itu. Kami berbaur, bersila dan dengan ceria mengikuti apa saja yang diisyaratkan oleh sang ustadz. Nakal adalah wajar pada usia kami, namun bersama-Nya kami membaca, kami menghafal dan kami memeluk mushaf Al-Qur’an tercinta. Hanyut dalam sujud suci yang mungkin belum kami resapi sepenuhnya, hingga malam pada akhirnya mengizinkan kami kembali kepada sosok-sosok luar biasa yang sedang menunggu dirumah.
            
             Hari demi hari kulalui. Jilbab kulepaskan. Saat hendak mengaji aku memakainya lagi. Aku belajar di sekolah seperti halnya anak-anak lain. Dan bersama-Nya, tak begitu sulit bagiku mendapatkan sebuah gelar ‘rangking’ atau ‘bintang kelas’. Aku tak berfikir banyak, yang kutahu hanya bagaimana agar aku bisa melihat kedua orang tua dan adikku tersenyum bangga menyambutku dengan segulungan buku yang dibalut sampul tipis berwarna coklat yang kugenggam, lalu memelukku, sungguh cukup dengan itu aku saja akan merasa luar biasa senang. 6 tahun duduk dibangku sekolah dasar, aku pun diluluskan. Hingga sebuah hari baru datang.

            Tak seperti biasanya, pagi ini aku mengenakannya, jilbab. ‘Pondok Pesantren Terpadu Ushulludin’, sepasang mataku antusias menatap tulisan itu. Aku berada disini sekarang. Berbaur bersama banyak warna dari seluruh penjuru Lampung hingga beberapa bagian Sumatera lainnya, aku menjadi Santri. Mengenakan jilbab setiap saat, 2 kali bersekolah, mengaji, belajar setiap malam, sholat malam, puasa, berangkat sekolah atau sholat tepat waktu karena dihitung oleh Mudabbiroh, berbahasa Arab dan Inggris, menghafal mufrodat, bekerja bakti, hingga berbaris untuk mendapatkan makan adalah rutinitas baruku saat itu. 

Aku nyaman, Sungguh. Jilbab itu melindungiku. Rasanya sama sejak kecil, tak pernah berkurang kenyamananku saat memakainya. Hari demi hari, bulan demi bulan aku lalui sudah di Pondok Pesantren di Lampung Selatan ini, terpisah jauh dari orang tua dan dijenguk setiap 4 bulan sekali karena jauhnya jarak, membuatku terlatih untuk mandiri dan tegar. Dengan dibekali uang 5000 rupiah perminggunya--permintaanku sendiri-- aku belajar berhemat, tidak manja dan akhirnya berinisiatif untuk mendapatkan uang dengan usahaku sendiri. Aku selalu mencatat apa saja yang Mudir sampaikan saat upacara atau kegiatan di masjid, sehingga saat setiap minggunya seluruh santri berkumpul, aku sering maju menjawab pertanyaan dari Mudir yang mana dihadiahkan uang 10.000 rupiah, tidak hanya itu, hobi menggambarku ternyata dilirik oleh teman-teman asrama, banyak dari mereka yang merequest untuk digambari sesuatu, saat sudah jadi mereka memberiku uang, coklat, snack atau Ice Cream. Sungguh menyenangkan, Allah memudahkanku berkali-kali. 

Hingga sebuah masalah mengujiku dan keluarga. Sudah hampir 1 tahun aku di Pesantren, sesuatu seolah menarikku untuk keluar dari Ma’had hijau tercinta. Terlalu pelik hingga aku tak bisa menguraikannya dalam tulisan ini. Pihak pesantren yang mendengar berita soalku yang hendak keluar rupanya menerka-nerka, hingga mengadakan rapat yang khusus membicarakan tentangku. Ustadz Saiful selaku wali kelasku berkata bahwa aku dibebaskan dari biaya pokok Pesantren jika tetap bertahan. Ku hembuskan nafas berat, bagaimanapun keadaan lebih kuat menarikku untuk keluar, bukan sekedar soal ekonomi, lebih dari itu. 

Aku pun pada akhirnya benar-benar keluar dari menjadi santri dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Rajabasa sekaligus pindah rumah dari kabupaten Tulang Bawang ke Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.  Allah, aku tahu Engkau bersamaku. Selalu.

Di SMP sangatlah berbeda. Jilbab adalah pemandangan asing unuk sepasang mataku. Bisa dihitung berapa banyak siswi yang mengenakannya. Di bawah 9 bahkan. Namun aku tak mengapa, lagi pula seluruh pihak menyambutku dengan baik. Banyak teman-teman yang menyenangkan disini, aku suka bersahabat dengan mereka yang ceria dan apa adanya. Kami belajar bersama. Keindahan alam di lingkungan baruku memberi aura positif. Pegunungan, laut, sumber mata air, pulau-pulau, udara yang segar, jalan yang bagus, MasyaAllah sungguh bersyukur aku terhadap-Nya. 

Alhamdulillah ujian semester selesai dan aku mendapat juara umum 1. Tidak menyangka karena aku anak baru di sekolah ini. Aku bersyukur berkali-kali dan tersenyum lebih lebar saat melihat ayahku yang juga tengah tersenyum. Menduduki kelas 8, aku mulai berorganisasi. Aku tertarik untuk menjadi bagian di 3 organisasi, salah satunya Rohani Islam (ROHIS). Setiap hari kamis kami melingkar, mengaji al-Qur’an dan mengkaji apa saja seputar Islam, ini adalah ‘Liqo’/Halaqah’ begitulah kata Murabbiku. Hingga aku bahkan tak pernah menyebut nama ROHIS saat izin ke orang tua, aku meminta izin mereka untuk Liqo’ dan Alhamdulillah mereka selalu mengizinkan. Namun, perlahan lingkaran itu mengecil diameternya, aku menatap nanar punggung-punggung mereka yang memisahkan diri, sementara Liqo’ baru berjalan beberapa kali. Sudah kuingatkan, namun kata ‘sibuk’ sukses mengalahkan. Hingga Liqo’ kami pun mati sungguhan. Kehidupan SMP berlalu dengan menyisakan banyak kenangan. Menyenangkan, lucu, menyedihkan dan banyak sekali hal-hal lain yang akan selalu kurindukan. 

Melanjutkan misi menuntut ilmu, urutan ke 107 aku  diterima di SMA Negeri 1, SMA unggulan yang banyak dituju, SMA Negeri 1 Kalianda rumah ilmuku selanjutnya. Berbeda, sungguh. Aku bertemu banyak orang-orang tangguh. Berbaur bersama anak-anak pejabat daerah dengan kemampuan akademik yang luar biasa. Lalu, aku bisa apa?. Hari itu MOS terakhir, seluruh organisasi sibuk mempromosikan keunggulannya masing-masing. Namun ada 1 yang membuatku tertarik, mereka berbeda dari yang lain. Penampilan, cara bersikap, penyampaian dan kejutan lain yang diberikan membuatku langsung menjatuhkan pilihan. Disini aku seharusnya. 'ROMANSA' (Rohis SMAN 1 Kalianda), itulah nama mereka, yang dengan melihatnya saja bisa menyejukkan hati dan mata.

Beberapa waktu kemudian, aku berhasil memetik hasil. Aku berada bersama mereka yang istimewa. Anak masjid katanya, tukang ngaji, marbot, jilbab gede, sok suci, aktivis, teroris. NO!. Berat ternyata, serius!. Ada sekian newton amanah yang harus kami pikul sementara banyak dari mereka memandang sebelah mata. Kami di fitnah oleh media, tv berita. Kami yang benci anarkis di lebeli teroris. Allah, kuatkan.
Beberapa waktu berlalu, kian banyak yang menggerutu, internal kami tak lagi satu. Banyak yang memilih keluar karena berbagai alasan dan ulasan. Aku paksa diri untuk mengerti mencoba memahami, hidup adalah pilihan. Tapi sering terbesit di benakku, tahukah mereka?, aku bahkan sering diingati ayahku untuk keluar dari ROHIS, seperti yang kuduga ayahku pun menjadi korban media. Karena rasa sayanganya, dia mengkhawatirkanku bakal terjerat sesuatu yang aneh-aneh, jadi teroris, atau jadi kader politik partai pendiri ROHIS, dll, terlebih karena aku yang sering pulang terlambat dibandingkan siswa lain yang tak berorganisasi. Aku tersenyum dan mencoba menjelaskan. Dampaknya didiamkan bahkan pernah, dan beberapa tanggapan lain yang sejatinya tiada pernah kuharapkan. Sungguh tidak nyaman rasanya, tapi, yah, akan kubuktikan ketidakbenaran seluruh anggapan. Semoga jalan yang aku pilih menjadikanku sebagai manusia yang terpilih, oleh-Nya yang Maha kasih.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad: 7). Itu adalah satu dari banyak motivasi kami. Kami mencoba peduli dan membuka mata hati, bahwa dahwah harus terus berjalan. Kami mulai dari berdakwah lingkungan dalam dan melibatkan seluruh lapisan muslim sekolah dengan agenda-agenda mingguan sampai bulanan seperti dakwah diatas kertas (daktas), Bina Baca Qur’an (BBQ), Keputrian, Latihan khutbah Jum’at, Rihlah, dll. Hingga sayap kami lebarkan.
Aku bersama ROHIS angkatanku bergabung di FOSAR (Forum Silaturrahmi Antar Rohis) Lampung Selatan. Drai sana, aku menemukan banyak istilah, dari satu yang sudah pernah kudengar sebelumnya hingga beberapa yang baru pertamakalinya terdengar olehku. Istilah tersebut seperti Liqo’, Taskif, Mabit, ODOJ dan lain-lain.

Liqo’ sudah rutin kujalani. Setiap seminggu sekali, kami mengaji, mendapat pengetahuan keislaman baru, menyetorkan hafalan al-Qur’an dan mutaba’ah mingguan, mendapat iqob, hihii. Hingga suatu hari, kami sampai pada suatu materi, tentang wanita. Ya, materi tentang wanita yang membuatku merasa tertohok. Kutengok jilbabku. Dan Bismillah, aku menatap gerbang hijrah.

Aku masih mengingatnya. Jelas. Qs. An-Nur : 31, dan Qs. Al-Ahzab : 59 tentang perintah Allah untuk berhijab syar’i. Kerudung menutup dada tidak transparan, menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, tidak berpaian ketat dan tidak tabarruj. Dan Bismillah, aku berhijrah. Perlahan kurubah penampilanku dengan cara yang aku bisa. Lantas bagaimana dengan tanggapan sekitar?. Jawabannya mayoritas kontra!. Bahkan ketika hendak menggunakan kaus kaki saat ke warung, aku dikira sedang sakit oleh Ibuku. Tapi aku bersyukur ibuku pada akhirnya membebaskan dan malah mendukung setelah kujelaskan. Namun sejak itu, setiap memandang Ibu, aku merasa ada tugas penting yang belum ku tunaikan. Ibuku tersayang, masih belum menggunakan hijab.  

Silih berganti hari, silih berganti alam terus berubah. Makin banyak teman-temanku yang mengulurkan jilbabnya. Sementara itu, aku terus tumbuh dengan nyaman bersama pakaian longgar yang seakan menjadi benteng. Entah mengapa, selalu malu ketika hendak melakukan hal negatif. Malu dengan jilbabku, lebih malu lagi pada Allah yang selalu menyertaiku. Jilbab yang membuatku dikatakan seperti ibu-ibu oleh saudaraku itu melindungiku dari berbuat berlebihan, melindungiku dari keusilan laki-laki, membuatku merasa dihormati daripada diminati, nyaman sekali dan membimbingku untuk terus memeriksa ruhiyah, memperbaiki yang salah dan mensyiarkan agama Allah dengan jalan yang indah. Bismillah, aku akan berubah. Jangan jadi mudah marah, jangan mudah gelisah, jangan berkeluh kesah, orang tua jangan dibantah, menjauhkan diri dari fitnah meski cinta adalah fitrah serta terus berupaya untuk pantang menyerah. 

Tahun terakhir di SMA, Alhamdulillah azamku tercapai. Ibuku sudah berjilbab. Dan pandangan ayahku yang semula negatif terhadap organisasiku terbarter dengan pandangan positif. Keluarga kecilku mendukungku. Masa SMA yang luar biasa kutinggalkan dengan senyum berjuta makna. Allah, terimakasih.

Terus tumbuh bersama Allah.
Membuka lembaran baru bersama Allah.
Hingga saat ini aku duduk di bangku kuliah. Alhamdulillah.
Selalu berharap menjadi pribadi yang lebih baik setiap waktunya. Dengan menjadi diri sendiri, aku ingin berdakwah. Mensyiarkan hal-hal baik. Dengan media semoga menjadi lebih efektif. Meluruskan niat, menuntut ilmu, menjadi berguna untuk keluarga dan sesama, menjadi muslimah sholehah yang tidak lemah, menjadi calon ibu yang bermutu, dan menjadi manusia biasa yang dirindukan syurga, semoga semuanya lancar terlaksana. Aamiin
Bismillahirrahmanirrahim. Bersama engkau ya Allah, saksikanlah aku dan sekian perjuangan. Aku ingin terus berpijak di jalan-Mu. Tumbuh bersama-Mu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar