Dalil-Dalil Naqli |
Al-Qur’an
Diturunkan
secara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh dua tahun, al-Qur’an
sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menjadi hukum Islam
yang paling utama sekaligus menjadi pedoman bagi setiap ummatnya. Meskipun
mayoritas kita berpendapat bahwa jumlah surat al-Qur’an adalah 114 surat,
ternyata ada pula pendapat lain yang menyebut al-Qur’an terdiri dari 113 surat
karena surat al-Anfal dan Taubah dijadikan satu surat. Jumlah ayat al-Qur’an
menurut versi yang paling banyak diakui adalah 6200 ayat. Dan dari 6200 ayat
tersebut, ternyata secara proporsi ayat-ayat hukum tidak banyak termuat dalam
al-Qur’an.
Dalam
dua dasawarsa, sebagian surat al-Qur’an diturunkan saat Nabi tinggal di Makkah.
Surat-surat tersebut disebut sebagai surat Makiyyah.
Sedangkan sebagiannya lagi diturunkan ketika Nabi hijrah dan menetap di
Madinah. Surat-surat yang diturunkan di Madinah itu disebut sebagai surat-surat Madaniyah. Dan di Madinah ini ayat-ayat al-Qur’an yang terkait
dengan hukum Islam lebih banyak diturunkan.
Petunjuk
(huda), penjelas (bayyina), atau pembeda (furqan) adalah nama-diri yang terdapat
di dalam al-Qur’an oleh banyak definisi. Yang lebih bersifat moral daripada
legal dalam fungsinya.
Mengenai
ayat-ayat hukum yang diturunkan, ternyata meskipun dalam perkembangan
kelembagaan Islam, hukum Islam sedemikian kuat mewarnai agama Islam, masa
tersebut tidak berlangsung lama yaitu hanya pada 10 tahun terakhir dari 23
tahun masa dakwah nabi.
Pun
dalam menurunkan hukum, al-Qur’an tidak pernah menggunakan pendekatan yang
radikal dan frontal kepada hukum dan adat yang sudah berlaku sebelum kedatangan
Islam. Berikut tiga karakter al-Qur’an dalam menurunkan hukum, menurut Hudari
Bik :
ü Tidak
menyulitkan
ü Meminimalkan
beban
ü Bertahap.
Dari ketiga prinsip
tersebut, memiliki konskuensi yang tidak banyak beban, dampaknya meringankan
dan memudahkan manusia. Yang mana ada cukup banyak riwayat yang menunjukkan
betapa hati-hatinya Nabi menggunakan sebuah pendekatan yang bisa dikatakan
efektif, dalam contoh prakteknya adalah pengharaman khamr, sehingga terkadang
justru para sahabat yang mendorong agar Nabi meminta Allah menurunkan hukum
suatu perkara.
Sunnah
Didefinisikan sebagai
perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW, sunnah mayoritas berbentuk
perkataan (qauliyyah). Adapun sunnah
yang berupa perbuatan (fi’liyyah)
dapat dilihat pada riwayat-riwayat yang terkait dengan cara Nabi menunaikan
shalat dan haji ketika Nabi sendiri memerintahkan agar kita mengikuti cara
beliau shalat dan haji.
Sunnah Nabi yang berupa
ketetapan (taqririyyah) terjadi dalam
kasus-kasus perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi dan Nabi tak melarang
atau membiarkan apa yang dilakukan Sahabat itu.
Berikut alasan mengapa
sunnah dapat menjadi dalil kedua dalam hukum Islam setelah al-Qur’an :
1. Ayat-ayat
al-Qur’an memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi.
2. Rasul
adalah pembawa pesan Allah, dalam tindakan, ucapan, dan ketetapan beliau
terdapat missi dari Allah.
3. Nabi
adalah manusia yang selalu dalam bimbingan-Nya, maka apa yang dilakukan dan
diperbuat Nabi selalu sesuai dengan kehendak-Nya dan Allah segera menegurnya
bila beliau salah.
4. Mempercayai
Rasul, atau iman kepada Rasul merupakan salah satu dari rukun iman.
Sunnah
dalam Perspektif Fiqih
Ahli fiqih
secara serius memperhatikan masalah keotentikan dalil-dalil sunnah yang mereka
terima karena bagaimanapun Sunnah berperan sebagai dalil hukum kedua dan
dianggap mewakili posisi Nabi. Masalah ini pada akhirnya memicu lahirnya dua
aliran besar dalam hukum Islam yaitu: mazhab ahl al-Hadits dan mazhab ahl
al-ra’y.
Khalifah
Umar pernah melarang orang untuk menceritakan Hadits karena beliau khawatir
bila nanti orang menjadi sibuk dengan Hadits dan meninggalkan al-Qur’an. Ini
faktor dari kenyataan bahwa hadits atau laporan yang terkait dengan Sunnah Nabi
mulai tersebar pada masa yang jauh dari wafatnya Nabi. Sehingga orang sangat
jarang meriwayatkan sunnah setidaknya hingga tiga puluh tahun sesudah Nabi
wafat. Yang mana pada jarak selama itu, makinlah besar kemungkinan untuk
bercampurnya cerita nyata dengan bumbu-bumbu tambahan si penyampai berita.
Itulah
mengapa sunnah menjadi terlambat untuk dikodifikasikan, maka lebih sulit untuk
membuktikan keaslian/otensitas Sunnah. Dan oleh sebab itu, maka para ahli Fiqih
pada dekade-dekade sesudah Nabi dan Sahabat sangat berhati-hati. Karena kembali
lagi, problem yang paling sering mereka debatkan adalah otensitas Hadits yang
terutama disampaikan oleh saksi mata tunggal.
Dalam
istilah ahli Hadits dan Fiqih, saksi mata tunggal disebut sebagai Hadits Ahad.
Saksi tunggal dianggap tidak sekuat saksi banyak. Jika ada sekelompok orang
yang mengaku melihat Nabi mengatakan sesuatu dan semua saksi menyetujuinya,
maka laporan (riwayat) mereka bisa diterima kesahihannya. Hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak disebut Hadits
Mutawatir.
Sepanjang
ulama sepakat tentang Hadits Mutawatir sebagi dalil, ulama berbeda pendapat tentang Hadits Ahad. Seperti
yang pernah disebutkan di bab yang lalu, ada ulama yang lebih memilih
menggunakan tradisi Madinah daripada Hadits Ahad; sebagian lagi ada yang lebih
memilih untuk berijtihad daripada menggunakan Hadits Ahad. Sisanya ada pula
yang memilih Hadits Ahad, bahkan Hadits
palsu, daripada harus dirinya sendiri yang berijtihad.
Adanya
perbedaan kualitas demikian, mejadikan Hadits Ahad dianggap Zanni al-Wurud
(kebenaran laporannya diragukan) sedangkan Hadits Mutawatir dianggap mempunyai
derajat Qat’i al-Wurud (laporannya dianggap 90% benar).
Fungsi
Sunnah terhadap al-Qur’an
As-Sunnah sebagai dalil
hukum kedua membantu al-Qur’an dalam menjelaskan berbagai hukum Allah. Berikut
Syaikh Abu Zahrah membedakannya menjadi tiga fungsi bantuan:
1. Menjelaskan
ketentuan al-Qur’an yang masih samar-samar (mubbam),
merinci yang masih pokok-pokok (mujmal),
dan membatasi apa yang terlalu umum (am).
Contohnya, penjelasan Nabi tentang cara Shalat dan Haji.
2. Menyempurnakan
hukum yang pokok-pokonya sudah digariskan di dalam al-Qur’an. Misal, hukum li’an (suami menuduh istrinya selingkuh)
3. Memutuskan
hukum baru yang belum ada di dalam al-Qur’an. Misalnya keharaman binatang yang
bertaring atau sanksi pidana (diyat).
Namun yang perlu
diingat adalah bahwa pada dasarnya Sunnah tidak pernah membuat hukum yang sama
sekali baru dan bertentangan dengan al-Qur’an. Hukum-hukum yang sudah ada di
al-Qur’an biasanya diturunkan untuk memunculkan hukum baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar