Senin, 09 Mei 2016

DALIL-DALIL NAQLI


Dalil-Dalil Naqli


Al-Qur’an

            Diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh dua tahun, al-Qur’an sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menjadi hukum Islam yang paling utama sekaligus menjadi pedoman bagi setiap ummatnya. Meskipun mayoritas kita berpendapat bahwa jumlah surat al-Qur’an adalah 114 surat, ternyata ada pula pendapat lain yang menyebut al-Qur’an terdiri dari 113 surat karena surat al-Anfal dan Taubah dijadikan satu surat. Jumlah ayat al-Qur’an menurut versi yang paling banyak diakui adalah 6200 ayat. Dan dari 6200 ayat tersebut, ternyata secara proporsi ayat-ayat hukum tidak banyak termuat dalam al-Qur’an. 

            Dalam dua dasawarsa, sebagian surat al-Qur’an diturunkan saat Nabi tinggal di Makkah. Surat-surat tersebut disebut sebagai surat Makiyyah. Sedangkan sebagiannya lagi diturunkan ketika Nabi hijrah dan menetap di Madinah. Surat-surat yang diturunkan di Madinah itu disebut sebagai surat-surat Madaniyah. Dan di Madinah ini ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan hukum Islam lebih banyak diturunkan.

            Petunjuk (huda), penjelas (bayyina), atau pembeda (furqan) adalah nama-diri yang terdapat di dalam al-Qur’an oleh banyak definisi. Yang lebih bersifat moral daripada legal dalam fungsinya.

            Mengenai ayat-ayat hukum yang diturunkan, ternyata meskipun dalam perkembangan kelembagaan Islam, hukum Islam sedemikian kuat mewarnai agama Islam, masa tersebut tidak berlangsung lama yaitu hanya pada 10 tahun terakhir dari 23 tahun masa dakwah nabi. 

            Pun dalam menurunkan hukum, al-Qur’an tidak pernah menggunakan pendekatan yang radikal dan frontal kepada hukum dan adat yang sudah berlaku sebelum kedatangan Islam. Berikut tiga karakter al-Qur’an dalam menurunkan hukum, menurut Hudari Bik :
ü  Tidak menyulitkan
ü  Meminimalkan beban
ü  Bertahap.

Dari ketiga prinsip tersebut, memiliki konskuensi yang tidak banyak beban, dampaknya meringankan dan memudahkan manusia. Yang mana ada cukup banyak riwayat yang menunjukkan betapa hati-hatinya Nabi menggunakan sebuah pendekatan yang bisa dikatakan efektif, dalam contoh prakteknya adalah pengharaman khamr, sehingga terkadang justru para sahabat yang mendorong agar Nabi meminta Allah menurunkan hukum suatu perkara.



Sunnah

Didefinisikan sebagai perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW, sunnah mayoritas berbentuk perkataan (qauliyyah). Adapun sunnah yang berupa perbuatan (fi’liyyah) dapat dilihat pada riwayat-riwayat yang terkait dengan cara Nabi menunaikan shalat dan haji ketika Nabi sendiri memerintahkan agar kita mengikuti cara beliau shalat dan haji.

Sunnah Nabi yang berupa ketetapan (taqririyyah) terjadi dalam kasus-kasus perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi dan Nabi tak melarang atau membiarkan apa yang dilakukan Sahabat itu.

Berikut alasan mengapa sunnah dapat menjadi dalil kedua dalam hukum Islam setelah al-Qur’an :
1.      Ayat-ayat al-Qur’an memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi.
2.      Rasul adalah pembawa pesan Allah, dalam tindakan, ucapan, dan ketetapan beliau terdapat missi dari Allah.
3.      Nabi adalah manusia yang selalu dalam bimbingan-Nya, maka apa yang dilakukan dan diperbuat Nabi selalu sesuai dengan kehendak-Nya dan Allah segera menegurnya bila beliau salah.
4.      Mempercayai Rasul, atau iman kepada Rasul merupakan salah satu dari rukun iman.


Sunnah dalam Perspektif Fiqih

            Ahli fiqih secara serius memperhatikan masalah keotentikan dalil-dalil sunnah yang mereka terima karena bagaimanapun Sunnah berperan sebagai dalil hukum kedua dan dianggap mewakili posisi Nabi. Masalah ini pada akhirnya memicu lahirnya dua aliran besar dalam hukum Islam yaitu: mazhab ahl al-Hadits dan mazhab ahl al-ra’y.

            Khalifah Umar pernah melarang orang untuk menceritakan Hadits karena beliau khawatir bila nanti orang menjadi sibuk dengan Hadits dan meninggalkan al-Qur’an. Ini faktor dari kenyataan bahwa hadits atau laporan yang terkait dengan Sunnah Nabi mulai tersebar pada masa yang jauh dari wafatnya Nabi. Sehingga orang sangat jarang meriwayatkan sunnah setidaknya hingga tiga puluh tahun sesudah Nabi wafat. Yang mana pada jarak selama itu, makinlah besar kemungkinan untuk bercampurnya cerita nyata dengan bumbu-bumbu tambahan si penyampai berita.

            Itulah mengapa sunnah menjadi terlambat untuk dikodifikasikan, maka lebih sulit untuk membuktikan keaslian/otensitas Sunnah. Dan oleh sebab itu, maka para ahli Fiqih pada dekade-dekade sesudah Nabi dan Sahabat sangat berhati-hati. Karena kembali lagi, problem yang paling sering mereka debatkan adalah otensitas Hadits yang terutama disampaikan oleh saksi mata tunggal.    
            Dalam istilah ahli Hadits dan Fiqih, saksi mata tunggal disebut sebagai Hadits Ahad. Saksi tunggal dianggap tidak sekuat saksi banyak. Jika ada sekelompok orang yang mengaku melihat Nabi mengatakan sesuatu dan semua saksi menyetujuinya, maka laporan (riwayat) mereka bisa diterima kesahihannya. Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak disebut Hadits Mutawatir.

            Sepanjang ulama sepakat tentang Hadits Mutawatir sebagi dalil, ulama  berbeda pendapat tentang Hadits Ahad. Seperti yang pernah disebutkan di bab yang lalu, ada ulama yang lebih memilih menggunakan tradisi Madinah daripada Hadits Ahad; sebagian lagi ada yang lebih memilih untuk berijtihad daripada menggunakan Hadits Ahad. Sisanya ada pula yang  memilih Hadits Ahad, bahkan Hadits palsu, daripada harus dirinya sendiri yang berijtihad.

            Adanya perbedaan kualitas demikian, mejadikan Hadits Ahad dianggap Zanni al-Wurud (kebenaran laporannya diragukan) sedangkan Hadits Mutawatir dianggap mempunyai derajat Qat’i al-Wurud (laporannya dianggap 90% benar).


Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an

As-Sunnah sebagai dalil hukum kedua membantu al-Qur’an dalam menjelaskan berbagai hukum Allah. Berikut Syaikh Abu Zahrah membedakannya menjadi tiga fungsi bantuan:
1.      Menjelaskan ketentuan al-Qur’an yang masih samar-samar (mubbam), merinci yang masih pokok-pokok (mujmal), dan membatasi apa yang terlalu umum (am). Contohnya, penjelasan Nabi tentang cara Shalat dan Haji.

2.      Menyempurnakan hukum yang pokok-pokonya sudah digariskan di dalam al-Qur’an. Misal, hukum li’an (suami menuduh istrinya selingkuh)

3.      Memutuskan hukum baru yang belum ada di dalam al-Qur’an. Misalnya keharaman binatang yang bertaring atau sanksi pidana (diyat).
Namun yang perlu diingat adalah bahwa pada dasarnya Sunnah tidak pernah membuat hukum yang sama sekali baru dan bertentangan dengan al-Qur’an. Hukum-hukum yang sudah ada di al-Qur’an biasanya diturunkan untuk memunculkan hukum baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar