Dalil-Dalil Aqli |
Hukum
Islam selain ditentukan menggunakan dua dalil yang bersifat tertulis, juga bisa
menggunakan dalil rasional. Penggunaan akal dalam merumuskan hukum Islam sudah
diberlakukan sejak zaman Nabi, hal ini karena Rasulullah sendiri menginsyafi
bila seseorang jauh dari beliau dan tidak ada media untuk berkomunikasi, maka
penggunaan akal merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. Beliau bahkan
mendukung dan membenarkan jawaban Mu’adz b. Jabal berikut: “saya akan berpikir
keras untuk memutuskan perkara yang tidak ada ketentuannya di dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah”.
Ada dua macam metode
rasional yang sudah disepakati sebagai dalil oleh para ulama. Kedua macam
metode tersebut adalah: Ijma’ dan Qiyas.
IJMA’
Secara bahasa Ijma’
berarti Niat yang kuat dan Kesepakatan. Sedangkan secara istilah, Ijma’
merupakan “Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar’i”.
·
Dikatakan ‘Kesepakatan’, maka adanya
khilaf meski dari satu orang, tidak bisa dikatakan sebagai ijma’.
·
Dikatakan ‘Para mujtahid’, maka
kesepakatan orang awam dan orang yang bertaqlid tidaklah dianggap dan tidak
diakui.
·
Dikatakan ‘Ummat Ini’, maka ijma’ selain
mereka (ummat Islam) tidak dianggap dan tidak diakui.
·
Dikatakan ‘Setelah wafatnya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam’, maka kesepakatan mereka pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tidak dianngap sebagai ijma’ dari segi
keberadaanya sebagai dalil, dikarenakan dalil dihasilkan dari sunnah Rasululillah
Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam baik dari perkataan, perbuatan atau taqrir,
karenanya bila seorang sahabat berkata: “Dahulu kami melakukan”, atau “Dahulu
mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam”,
maka hal tersebut tidak termasuk kedalam ijma’ dan marfu’ secara hukum.
·
Dikatakan ‘Terhadap hukum syar’i’, maka
kesepakatan mereka dalam hukum akal atau kebiasaan, tidak termasuk Ijma’.
Ijma’ merupakan hujjah.
Hal ini terekam dalam dalil-dalil yang diantaranya yaitu: QS. Al-Baqarah ayat
143 dan QS. An-Nisa’ ayat 59.
Macam-Macam Ijma’:
1.
Ijma’
Qath’i
Merupakan
ijma’ yang diketahui dengan pasti keberadaannya di kalangan umat Islam.
Contohnya ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Tidak ada
seorang pun yang mengingkari keberadaan ijma’ jenis ini sebagai hujjah, bahkan
dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak
mengetahuinya.
2.
Ijma’
Zanni
Merupakan
ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan tatabbu’
dan istiqro’ (dicari dan dipelajari).
Para ulama telah berselisih mengenai kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini.
Syarat-Syarat Ijma’
Syarat-syarat ijma’
diataranya sebagai berikut:
1. Tetap melalui jalan yang shahih, yakni dengan
kemasyhurannya dikalangan ‘ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang
tsiqoh dan luas pengetahuannya.
2. Tidak
didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, bila didahului oleh hal
tersebut maka bukan ijma’ karena perkataan tidak batal dengan kematian yang
mengucapkannya.
QIYAS
Secara
bahasa Qiyas berarti ‘Pengukuhan dan Penyamaan’. Sedangkan secara Istilah Qiyas
adalah ‘Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum
dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya”.
Empat
rukun Qiyas:
·
Cabang: yang diqiyaskan
·
Pokok: yang diqiyaskan kepadanya
·
Hukum: apa yang menjadi konsekuensi
dalil syar’i dari yang wajib atau haram, sah atau rusak, atau yang selainnya.
·
Sebab/illah: sebuah makna dimana hukum
ashl ditetapkan dengan sebab tersebut.
Dan Qiyas merupakan
salah satu dalil yang hukum-hukum syar’i ditetapkan dengannya (QS. Asy-Syuuro:
17 dan QS. Fathir: 9).
Diantara dalil-dali sunnah:
1. Sabda
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam kepada seorang wanita yang bertanya
kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal: “Bagaimana
pendapatmu jika ibumu memiliki hutang lalu kamu membayarnya? Apakah hutang
tersebut tertunaikan untuknya?” Dia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Maka perpuasalah
untuk ibumu.” (HR. Bukhori)
2. Bahwa
seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lalu ia
berkata: Wahai Rasulullah! Telah dilahirkan untukku seorang anak laki-laki yang
berkulit hitam.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam berkata: “Apakah kamu
memiliki unta?” Ia menjawab: “Ya”, Nabi berkata: “Apa saja warnanya?” Ia
menjawab: “Merah,”, Nabi berkata: “Apakah ada yang berwarna keabu-abuan” Ia
menjawab: “Ya”, Nabi berkata: “Mengapa demikian?” Ia menjawab: “Mungkin uratnya
ada yang salah” Nabi berkata “Mungkin juga anakmu ini ada kesalahan urat”. (HR.
Bukhori)
Itulah seluruh contoh
yang terdapat di kitab dan sunnah sebagai dalil atas kebenaran qiyas karena di
dalamnya ada penganggapan sesuatu sama dengan yang semisalnya.
Dalil dari perkataan
sahabat diantaranya: Apa yang datang dari Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khoththob
ydalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari dalam pemutusan hukum, ia berkata:
“Kemudian fahamilah, fahamilah terhadap apa yang diajukan kepadamu, kepada apa
yang datang padamu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kemudian
qiyaskanlah perkara-perkara yang terjadi padamu tersebut dn ketahuilah
persamaan-persamaannya, kemudian sandarkanlah pendapatmu itu kepada apa yang
paling dicintai Allah dan palin menyerupai kebenaran.”
Al-Muzani meriwayatkan
bahwasanya ahli fiqih sejak zaman sahabat sampai zaman beliau telah bersepakat
bahwa penyamaan dengan yang benar adalah benar dan penyamaan dengan yang bathil
adalah bathil, dan mereka menggunakan qiyas-qiyas dalam fiqih dalam seluruh
hukum-hukum.
Syarat-Syarat Qiyas
Syarat-syarat yang dimiliki Qiyas diantaranya
adalah:
1. Tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak dianggap Qiyas
yang bertentangan dengan nash atau ijma’ atau perkataan sahabat jika kita
mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan qiyas yang bertentangan
dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai anggapan yang rusak.
Misal:
dikatakan bahwa wanita rosyidah
(baliqh, berakal, dan bisa mengurus diri sendiri) sah untuk menikahkan dirinya
sendiri tanpa wali.
Itu
adalah qiyas yang rusak sebab menyelisihi nash, yaitu “Tidak ada nikah kecuali
dengan wali” sebagai sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
2. Hukum
ashlu-nya tetap dengan nash atau ijma’.
Misal:
dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, dan berlaku pada
beras diqiyqaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini tidak benar, akan
tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan dengan gandum, supaya
diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.
3. Pada
hukum ashl terdapat ‘illah (sebab) yang diketahui, supaya memungkinkan untuk
dijama’ antara ashl dan cabang padanya. Bila hukum ashl-nya adalah perkara yang
murni ta’abbudi (peribadatan yang tidak diketahui ‘illah-nya), maka tidak sah
mengqiyaskan kepadanya.
Misal:
Daging burung unta dikatakan dapat membatalkan wudhu diqiyaskan dengan daging
unta karena kesamaan ‘burung unta’ dengan ‘unta’, maka qiyas seperti ini
disebut tidak benar sebab hukum ashl-nya tidak memiliki ‘illah yang diketahui,
namun perihal ini adalah murni ta’abbudi berdasarkan pendapat yang masyhur
(yakni dalam madzhab al-Imam Ahmad rohimahullaoh).
4. ‘Illah-nya mengandung makna yang sama dengan
hukumnya, dimana penetapan ‘illah tersebut diketahui dengan kaidah-kaidah
syar’i, contohnya ‘illah memabukkan pada khomer. Bila maknanya adalah sifat
yang paten yang tiada kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah
menentukan ‘illah dengannya, seperti hitam dan putih.
Misal:
Hadits Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma: bahwa Bariroh diberi pilihan tentang
suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata: “suaminya ketika itu
adalah seorang budak berkulit hitam”.
“hitam”
yang beliau katakan adalah sifat yang tetap yang tidak ada hubungannya dengan
hukum, karenanya berlaku hukum memilih bagi seorang budak wanita jika ia
dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang budak meskipun suaminya
berkulit putih, dan hukum tersebut tak berlaku bila ia dimerdekakan dalam
keadaan mempunya suami seorang yang merdeka meskipun suaminya itu berkulit
hitam.
5. ‘illah tersebut ada pada cabang sebagaimana
‘illah tersebut juga ada dalam ashl, contohnya menyakiti orang tua dengan
memukul diqiyaskan dengan mengatakan “uf”/”ah”. Bila ‘illah (pada ashl) tidak
terdapat pada cabangnya maka tidaklah sah qiyas tersebut.
Misal:
‘Illah dikatakan dalam pengharaman riba pada gandum adalah karena ia ditakar,
lalu dikatakan berlaku riba pada apel dengan diqiyaskan pada gandum, maka tidak
benar qiyas seperti ini, sebab ‘illah (pada ashl-nya) tidak terdapat pada
cabangnya, yaitu tidak ditakarnya sebuah apel.
Jenis-Jenis Qiyas
1.
Qiyas
Jali (jelas)
Merupakan
qiyas yang tetap ‘illahnya dengan nash atau ijma’ atau dipastikan dengan
menafikan perbedaan antara ashl dan
cabangnya.
Yang
‘illah-nya tetap dengan nash, misal: Mengqiyaskan tentang larangan istijmar (bersuci dnegan batu atau yang
semisalnya) dengan darah najis yang beku larangan istijmar dengan kotoran
hewan, maka ‘illah dari hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu Mas’ud
rodhiAllahu anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dengan dua
batu serta sebuah kotoran hewan supaya beliau beristinja’ dengannya, setelah
itu beliau mengambil dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut lalu
mengatakan: “Ini kotor dan itu najis”.
Yang
‘illah-nya tetap dengan ijma’, misal: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam
melarang seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam keadaan marah.
Maka
qiyas dilarangnya qodhi yang menahan kencing dari memutuskan perkara, terhadap
larangan qodhi yang sedang marah dari memutuskan perkara merupakan qiyas jali
karena ‘illah ashl-nya tetap dengan ijma’ yakni adanya gangguan pikiran dan
sibuknya hati.
Yang
dipastikan ‘illah-nya dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabangnya,
misal: Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak yatim dengan membeli pakaian,
terhadap pengharoman menghabiskannya dengan membeli makanan karena kepastian
perbedaan antara keduanya.
2.
Qiyas
Khofi (samar)
Merupakan
qiyas yang ‘illah-nya tetap dengan istimbath (penggalian hukum) dan tidak dipastikan
dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabang.
Misal:
mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam pengharaman riba dengan ‘illah
sama-sama ditakar, maka penetapan ‘illah dengan takaran tidak tetap dengan
nash, tidak pula dengan ijma’ dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan
antara ashl dan cabangnya. Bahkan kemungkinan untuk membedakan keduanya, yakni
bahwa gandum dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar