Senin, 09 Mei 2016

DALIL-DALIL AQLI




Dalil-Dalil Aqli


            Hukum Islam selain ditentukan menggunakan dua dalil yang bersifat tertulis, juga bisa menggunakan dalil rasional. Penggunaan akal dalam merumuskan hukum Islam sudah diberlakukan sejak zaman Nabi, hal ini karena Rasulullah sendiri menginsyafi bila seseorang jauh dari beliau dan tidak ada media untuk berkomunikasi, maka penggunaan akal merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. Beliau bahkan mendukung dan membenarkan jawaban Mu’adz b. Jabal berikut: “saya akan berpikir keras untuk memutuskan perkara yang tidak ada ketentuannya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah”. 

Ada dua macam metode rasional yang sudah disepakati sebagai dalil oleh para ulama. Kedua macam metode tersebut adalah: Ijma’ dan Qiyas.


IJMA’

Secara bahasa Ijma’ berarti Niat yang kuat dan Kesepakatan. Sedangkan secara istilah, Ijma’ merupakan “Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar’i”.
·         Dikatakan ‘Kesepakatan’, maka adanya khilaf meski dari satu orang, tidak bisa dikatakan sebagai ijma’.
·         Dikatakan ‘Para mujtahid’, maka kesepakatan orang awam dan orang yang bertaqlid tidaklah dianggap dan tidak diakui.
·         Dikatakan ‘Ummat Ini’, maka ijma’ selain mereka (ummat Islam) tidak dianggap dan tidak diakui.
·         Dikatakan ‘Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam’, maka kesepakatan mereka pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tidak dianngap sebagai ijma’ dari segi keberadaanya sebagai dalil, dikarenakan dalil dihasilkan dari sunnah Rasululillah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam baik dari perkataan, perbuatan atau taqrir, karenanya bila seorang sahabat berkata: “Dahulu kami melakukan”, atau “Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam”, maka hal tersebut tidak termasuk kedalam ijma’ dan marfu’ secara hukum.
·         Dikatakan ‘Terhadap hukum syar’i’, maka kesepakatan mereka dalam hukum akal atau kebiasaan, tidak termasuk Ijma’.
Ijma’ merupakan hujjah. Hal ini terekam dalam dalil-dalil yang diantaranya yaitu: QS. Al-Baqarah ayat 143 dan QS. An-Nisa’ ayat 59.


Macam-Macam Ijma’:

1.      Ijma’ Qath’i
Merupakan ijma’ yang diketahui dengan pasti keberadaannya di kalangan umat Islam. Contohnya ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Tidak ada seorang pun yang mengingkari keberadaan ijma’ jenis ini sebagai hujjah, bahkan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2.      Ijma’ Zanni
Merupakan ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan tatabbu’ dan istiqro’ (dicari dan dipelajari). Para ulama telah berselisih mengenai kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini.


Syarat-Syarat Ijma’

            Syarat-syarat ijma’ diataranya sebagai berikut:

1.       Tetap melalui jalan yang shahih, yakni dengan kemasyhurannya dikalangan ‘ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.

2.      Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, bila didahului oleh hal tersebut maka bukan ijma’ karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.




QIYAS

            Secara bahasa Qiyas berarti ‘Pengukuhan dan Penyamaan’. Sedangkan secara Istilah Qiyas adalah ‘Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya”.

            Empat rukun Qiyas:
·         Cabang: yang diqiyaskan
·         Pokok: yang diqiyaskan kepadanya
·         Hukum: apa yang menjadi konsekuensi dalil syar’i dari yang wajib atau haram, sah atau rusak, atau yang selainnya.
·         Sebab/illah: sebuah makna dimana hukum ashl ditetapkan dengan sebab tersebut.

Dan Qiyas merupakan salah satu dalil yang hukum-hukum syar’i ditetapkan dengannya (QS. Asy-Syuuro: 17 dan QS. Fathir: 9). 
Diantara dalil-dali sunnah:

1.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam kepada seorang wanita yang bertanya kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal: “Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang lalu kamu membayarnya? Apakah hutang tersebut tertunaikan untuknya?” Dia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Maka perpuasalah untuk ibumu.” (HR. Bukhori)

2.      Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lalu ia berkata: Wahai Rasulullah! Telah dilahirkan untukku seorang anak laki-laki yang berkulit hitam.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam berkata: “Apakah kamu memiliki unta?” Ia menjawab: “Ya”, Nabi berkata: “Apa saja warnanya?” Ia menjawab: “Merah,”, Nabi berkata: “Apakah ada yang berwarna keabu-abuan” Ia menjawab: “Ya”, Nabi berkata: “Mengapa demikian?” Ia menjawab: “Mungkin uratnya ada yang salah” Nabi berkata “Mungkin juga anakmu ini ada kesalahan urat”. (HR. Bukhori)

Itulah seluruh contoh yang terdapat di kitab dan sunnah sebagai dalil atas kebenaran qiyas karena di dalamnya ada penganggapan sesuatu sama dengan yang semisalnya.

Dalil dari perkataan sahabat diantaranya: Apa yang datang dari Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khoththob ydalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari dalam pemutusan hukum, ia berkata: “Kemudian fahamilah, fahamilah terhadap apa yang diajukan kepadamu, kepada apa yang datang padamu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara yang terjadi padamu tersebut dn ketahuilah persamaan-persamaannya, kemudian sandarkanlah pendapatmu itu kepada apa yang paling dicintai Allah dan palin menyerupai kebenaran.”

Al-Muzani meriwayatkan bahwasanya ahli fiqih sejak zaman sahabat sampai zaman beliau telah bersepakat bahwa penyamaan dengan yang benar adalah benar dan penyamaan dengan yang bathil adalah bathil, dan mereka menggunakan qiyas-qiyas dalam fiqih dalam seluruh hukum-hukum.

Syarat-Syarat Qiyas

Syarat-syarat yang dimiliki Qiyas diantaranya adalah:

1.      Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak dianggap Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’ atau perkataan sahabat jika kita mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan qiyas yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai anggapan yang rusak.

Misal: dikatakan bahwa wanita rosyidah (baliqh, berakal, dan bisa mengurus diri sendiri) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
Itu adalah qiyas yang rusak sebab menyelisihi nash, yaitu “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” sebagai sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.

2.      Hukum ashlu-nya tetap dengan nash atau ijma’.

Misal: dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, dan berlaku pada beras diqiyqaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini tidak benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan dengan gandum, supaya diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.

3.      Pada hukum ashl terdapat ‘illah (sebab) yang diketahui, supaya memungkinkan untuk dijama’ antara ashl dan cabang padanya. Bila hukum ashl-nya adalah perkara yang murni ta’abbudi (peribadatan yang tidak diketahui ‘illah-nya), maka tidak sah mengqiyaskan kepadanya.

Misal: Daging burung unta dikatakan dapat membatalkan wudhu diqiyaskan dengan daging unta karena kesamaan ‘burung unta’ dengan ‘unta’, maka qiyas seperti ini disebut tidak benar sebab hukum ashl-nya tidak memiliki ‘illah yang diketahui, namun perihal ini adalah murni ta’abbudi berdasarkan pendapat yang masyhur (yakni dalam madzhab al-Imam Ahmad rohimahullaoh).

4.       ‘Illah-nya mengandung makna yang sama dengan hukumnya, dimana penetapan ‘illah tersebut diketahui dengan kaidah-kaidah syar’i, contohnya ‘illah memabukkan pada khomer. Bila maknanya adalah sifat yang paten yang tiada kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah menentukan ‘illah dengannya, seperti hitam dan putih.

Misal: Hadits Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma: bahwa Bariroh diberi pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata: “suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit hitam”.
“hitam” yang beliau katakan adalah sifat yang tetap yang tidak ada hubungannya dengan hukum, karenanya berlaku hukum memilih bagi seorang budak wanita jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang budak meskipun suaminya berkulit putih, dan hukum tersebut tak berlaku bila ia dimerdekakan dalam keadaan mempunya suami seorang yang merdeka meskipun suaminya itu berkulit hitam.

5.       ‘illah tersebut ada pada cabang sebagaimana ‘illah tersebut juga ada dalam ashl, contohnya menyakiti orang tua dengan memukul diqiyaskan dengan mengatakan “uf”/”ah”. Bila ‘illah (pada ashl) tidak terdapat pada cabangnya maka tidaklah sah qiyas tersebut.

Misal: ‘Illah dikatakan dalam pengharaman riba pada gandum adalah karena ia ditakar, lalu dikatakan berlaku riba pada apel dengan diqiyaskan pada gandum, maka tidak benar qiyas seperti ini, sebab ‘illah (pada ashl-nya) tidak terdapat pada cabangnya, yaitu tidak ditakarnya sebuah apel.



Jenis-Jenis Qiyas

1.      Qiyas Jali (jelas)

Merupakan qiyas yang tetap ‘illahnya dengan nash atau ijma’ atau dipastikan dengan
menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya.

Yang ‘illah-nya tetap dengan nash, misal: Mengqiyaskan tentang larangan istijmar (bersuci dnegan batu atau yang semisalnya) dengan darah najis yang beku larangan istijmar dengan kotoran hewan, maka ‘illah dari hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu Mas’ud rodhiAllahu anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dengan dua batu serta sebuah kotoran hewan supaya beliau beristinja’ dengannya, setelah itu beliau mengambil dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut lalu mengatakan: “Ini kotor dan itu najis”.

Yang ‘illah-nya tetap dengan ijma’, misal: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam melarang seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam keadaan marah.

Maka qiyas dilarangnya qodhi yang menahan kencing dari memutuskan perkara, terhadap larangan qodhi yang sedang marah dari memutuskan perkara merupakan qiyas jali karena ‘illah ashl-nya tetap dengan ijma’ yakni adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati.

Yang dipastikan ‘illah-nya dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabangnya, misal: Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak yatim dengan membeli pakaian, terhadap pengharoman menghabiskannya dengan membeli makanan karena kepastian perbedaan antara keduanya.


2.      Qiyas Khofi (samar)

Merupakan qiyas yang ‘illah-nya tetap dengan istimbath (penggalian hukum) dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabang.

Misal: mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam pengharaman riba dengan ‘illah sama-sama ditakar, maka penetapan ‘illah dengan takaran tidak tetap dengan nash, tidak pula dengan ijma’ dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. Bahkan kemungkinan untuk membedakan keduanya, yakni bahwa gandum dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar