Hukum Islam merupakan hukum yang dibuat hanya oleh
Allah (al-hakim huwa Allah). Allah
sang pencipta manusia dan alam semesta adalah satu-satunya yang paling berhak
mengatur manusia melalui hukum-hukumnya. Karena sifat Dzat-Nya, manusia tidak
dapat mengetahui hukum yang dibuat Allah kecuali melalui seorang Rasul sebagai
manusia terpilih. Al-Qur’an merupakan kompilasi dari Kalam Allah yang
diwahyukan kepada Rasul-Rasul-Nya. Yang mana wahyu yang diturunkan dijadikan
Rasulullah sebagai acuan.
Sebagai
manusia pilihan yang mengetahui persis maksud Allah, maka apa yang Rasulullah
katakan, perbuat hingga tetapkan juga diyakini merupakan representasi kehendak
Allah. Maka dalam hukum Islam dikenal al-Sunnah yang berisi kompilasi laporan
yang terkait dengan ucapan, tindakan dan ketetapan Rasul.
Setelah
Rasulullah wafat, al-Qur’an dan as-Sunnah kemudian menjadi media yang dapat
diakses umat Islam. Manusia biasa tidaklah mempunya keistimewaan seperti Rasul,
maka hanya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah lah manusia bisa mengetahui maksud
Allah.
Karena
itu, teks al-Qur’an dan al-Sunnah dalam hukum Islam disebut sebagai dalil –yang berarti tanda atau petunjuk.
Hal itu didasari karena al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi petunjuk bagi ahli
hukum Islam untuk mengetahui maksud, tujuan dan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Segala
yang bisa dilakukan oleh kita sebagai umat Islam hanyalah mendasarkan diri
kepada apa yang sudah Allah tetapkan karena dalam Islam, proses legislasi sudah
selesai saat Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasalaam wafat. Mutlak, al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi hukum
prinsip yang sudah ada, sehingganya manusia tidak boleh membatalkan, hukum yang
diputuskan manusia hanya boleh menjadi hukum turunan.
Namun demikian, dewasa
ini secara praktis seringkali terjadi kekaburan batas antara “membuat” hukum
baru dan menemukan “turunan”. Hal ini dikarenakan sekian banyak perkembangan
masyarakat dan nilai-nilai yang diyakini manusia, dan apa yang sudah ditetapkan
di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak selalu mengjangkau apa yang terjadi di
kemudian hari. Sehingga sekalipun seorang ahli hukum Islam memakai al-Qur’an
dan al-Sunnah sebagai pijakan hukumnya, ia bisa saja menetapkan hukum atas
perkara yang sama sekali baru, secara otomatis ia telah membuat hukum baru.
Di Indonesia contohnya,
fatwa Majlis Ulama Indonesia yang menetapkan haramnya bunga bank. Jelas, pada
zaman Nabi belum ada bank. MUI menyamakan bunga bank dengan apa yang al-Qur’an
sebut sebagai riba yang juga
diharamkan dalam Islam. Ditinjau dari dua segi, pertama, Allah dan Rasul-Nya
tidak pernah mengharapkan “bunga bank”, sehingga MUI membuat hukum baru
terhadap kasus baru. Namun dari segi kedua yaitu segi Fiqih, MUI tidak membuat
hukum baru, dari hukum yang sudah ada di al-Qur’an tentang haramnya riba, MUI menggunakan prosedur untuk
membuat hukum turunan.
Oleh karena pendapat
MUI sebagaimana pendapat ulama tidak pernah bisa menggantikan Nabi, apalagi
mewakili Allah, maka, sangat memungkinkan terjadinya beda pendapat. Dalam hal
ini ulama lain dengan metode yang mereka gunakan, dapat sampai kepada
kesimpulan hukum yang berbeda.
Macam-Macam
Dalil
1. Dalil naqli,
–hanya ada dua: al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan dalil yang didapatkan melalui
riwayat dari satu generasi ke generasi. Al-Qur’an merepresentasikan apa yang
dianggap ‘murni’ dari Allah, sedangkan al-Sunnah mewakili apa yang dianggap ‘murni’
dari Rasulullah. Keduanya sampai kepada kita melalui pelaporan (riwayat) atau penukilan yang diseleksi
sedemikian teliti dan difilter sangat ketat. Diteliti keaslian sumbernya,
diverifikasi kesaksian pelapornya, diukur tingkat memori si pelapor (rawi), dipisahkan juga mana yang
dilaporkan oleh banyak orang dan hanya dilaporkan oleh saksi tunggal.
Sebab
Al-Qur’an sudah mencapai bobot orisinalitas sebelum ilmu-ilmu riwayat
berkembang, maka tidak ada ilmu kritik al-Qur’an sebagaimana ilmu kritik (naqd) Hadits. Namun cukup banyak
dipaparkan dalam buku-buku sejarah bahwa tim kodifikasi yang ditunjuk khalifah
Utsman menyeleksi secara ketat hafalan dan catatan al-Qur’an para Sahabat.
2. Dalil aqli,
–seperti al-Ijma’, Qiyas, al-Istihsan,
al-Maslahah al-Mursalah.
Merupakan dalil-dalil yang dibangun melalui penalaran murni manusia. Dibangun
dengan metode rasional dan empiris baik untuk memahami dalil naqli ataupun untuk menemukan dalil baru
yang tidak bertentangan dengan dalil naqli.
Daripada
praktis kategorisasi ini ada dasarnya lebih pada sifat teoritis. Praktiknya,
tiada dalil yang benar-benar naqli
karena kita selalu membaca al-Qur’an maupun al-Hadits dengan kondisi nalar
kita. Sama halnya dengan dalil aqli,
ia tidak pernah bisa untuk berdiri sendiri dalam konteks hukum Islam, Dalil aqli selalu membutuhkan landasan
otorisasinya yaitu dalil naqli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar