Senin, 09 Mei 2016

DALIL-DALIL HUKUM ISLAM



           Hukum Islam merupakan hukum yang dibuat hanya oleh Allah (al-hakim huwa Allah). Allah sang pencipta manusia dan alam semesta adalah satu-satunya yang paling berhak mengatur manusia melalui hukum-hukumnya. Karena sifat Dzat-Nya, manusia tidak dapat mengetahui hukum yang dibuat Allah kecuali melalui seorang Rasul sebagai manusia terpilih. Al-Qur’an merupakan kompilasi dari Kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Rasul-Nya. Yang mana wahyu yang diturunkan dijadikan Rasulullah sebagai acuan.
             
           Sebagai manusia pilihan yang mengetahui persis maksud Allah, maka apa yang Rasulullah katakan, perbuat hingga tetapkan juga diyakini merupakan representasi kehendak Allah. Maka dalam hukum Islam dikenal al-Sunnah yang berisi kompilasi laporan yang terkait dengan ucapan, tindakan dan ketetapan Rasul. 

            Setelah Rasulullah wafat, al-Qur’an dan as-Sunnah kemudian menjadi media yang dapat diakses umat Islam. Manusia biasa tidaklah mempunya keistimewaan seperti Rasul, maka hanya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah lah manusia bisa mengetahui maksud Allah.

            Karena itu, teks al-Qur’an dan al-Sunnah dalam hukum Islam disebut sebagai dalil –yang berarti tanda atau petunjuk. Hal itu didasari karena al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi petunjuk bagi ahli hukum Islam untuk mengetahui maksud, tujuan dan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

            Segala yang bisa dilakukan oleh kita sebagai umat Islam hanyalah mendasarkan diri kepada apa yang sudah Allah tetapkan karena dalam Islam, proses legislasi sudah selesai saat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasalaam wafat. Mutlak, al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi hukum prinsip yang sudah ada, sehingganya manusia tidak boleh membatalkan, hukum yang diputuskan manusia hanya boleh menjadi hukum turunan. 

Namun demikian, dewasa ini secara praktis seringkali terjadi kekaburan batas antara “membuat” hukum baru dan menemukan “turunan”. Hal ini dikarenakan sekian banyak perkembangan masyarakat dan nilai-nilai yang diyakini manusia, dan apa yang sudah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak selalu mengjangkau apa yang terjadi di kemudian hari. Sehingga sekalipun seorang ahli hukum Islam memakai al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pijakan hukumnya, ia bisa saja menetapkan hukum atas perkara yang sama sekali baru, secara otomatis ia telah membuat hukum baru.

Di Indonesia contohnya, fatwa Majlis Ulama Indonesia yang menetapkan haramnya bunga bank. Jelas, pada zaman Nabi belum ada bank. MUI menyamakan bunga bank dengan apa yang al-Qur’an sebut sebagai riba yang juga diharamkan dalam Islam. Ditinjau dari dua segi, pertama, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengharapkan “bunga bank”, sehingga MUI membuat hukum baru terhadap kasus baru. Namun dari segi kedua yaitu segi Fiqih, MUI tidak membuat hukum baru, dari hukum yang sudah ada di al-Qur’an tentang haramnya riba, MUI menggunakan prosedur untuk membuat hukum turunan.

Oleh karena pendapat MUI sebagaimana pendapat ulama tidak pernah bisa menggantikan Nabi, apalagi mewakili Allah, maka, sangat memungkinkan terjadinya beda pendapat. Dalam hal ini ulama lain dengan metode yang mereka gunakan, dapat sampai kepada kesimpulan hukum yang berbeda.


Macam-Macam Dalil


         1.   Dalil naqli, –hanya ada dua: al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan dalil yang didapatkan melalui riwayat dari satu generasi ke generasi. Al-Qur’an merepresentasikan apa yang dianggap ‘murni’ dari Allah, sedangkan al-Sunnah mewakili apa yang dianggap ‘murni’ dari Rasulullah. Keduanya sampai kepada kita melalui pelaporan (riwayat) atau penukilan yang diseleksi sedemikian teliti dan difilter sangat ketat. Diteliti keaslian sumbernya, diverifikasi kesaksian pelapornya, diukur tingkat memori si pelapor (rawi), dipisahkan juga mana yang dilaporkan oleh banyak orang dan hanya dilaporkan oleh saksi tunggal.

            Sebab Al-Qur’an sudah mencapai bobot orisinalitas sebelum ilmu-ilmu riwayat berkembang, maka tidak ada ilmu kritik al-Qur’an sebagaimana ilmu kritik (naqd) Hadits. Namun cukup banyak dipaparkan dalam buku-buku sejarah bahwa tim kodifikasi yang ditunjuk khalifah Utsman menyeleksi secara ketat hafalan dan catatan al-Qur’an para Sahabat.


          2.  Dalil aqli, –seperti al-Ijma’, Qiyas, al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah. Merupakan dalil-dalil yang dibangun melalui penalaran murni manusia. Dibangun dengan metode rasional dan empiris baik untuk memahami dalil naqli ataupun untuk menemukan dalil baru yang tidak bertentangan dengan dalil naqli.

            Daripada praktis kategorisasi ini ada dasarnya lebih pada sifat teoritis. Praktiknya, tiada dalil yang benar-benar naqli karena kita selalu membaca al-Qur’an maupun al-Hadits dengan kondisi nalar kita. Sama halnya dengan dalil aqli, ia tidak pernah bisa untuk berdiri sendiri dalam konteks hukum Islam, Dalil aqli selalu membutuhkan landasan otorisasinya yaitu dalil naqli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar