Senin, 07 Maret 2016

MALAM 1 SURO DI CEPURI PARANGKUSUMO DAN INDIKASI SYIRIK DI DALAMNYA



Cepuri Parangkusumo, Yogyakarta

           Malam Satu Muharram atau yang akrab disebut Malam Satu Suro oleh masyarakat jawa memang merupakan salah satu yang paling menarik dan dianggap sakral oleh sebagian masyarakat di tanah jawa. Karena pada malam ini akan sangat mudah dijumpai sesuatu yang berbau mistis. Pada Malam Satu Suro tempat-tempat yang dikeramatkan oleh warga akan menjadi berkali-kali lipat lebih ramai dari biasanya oleh para peziarah dengan motif yang bermacam-macam.

            Pada Malam Satu Suro kali ini, 13 Oktober 2015, saya dan beberapa teman tertarik untuk mengunjungi salah satu tempat yang sudah termasyur di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Pantai Parangkusumo. Masyarakat Yogyakarta memanfaatkan Malam satu suro unuk menggelar sebuah ritual bernama labuhan sesajian di Pantai yang berada sekitar 200 kilometer dari komplek Cepuri ini.

Komplek Cepuri memiliki batu yang sering digunakan untuk menggelar ritual yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat bertemunya Panembahan Senopati/Danang Sutawijaya yang merupakan raja mataram pertama dengan Kanjeng Ratu Kidul. Area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan tersebut dinamai  Cepuri Parang Kusumo. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk. Menurut cerita yang beredar di masyarakat Yogyakarta, konon, dahulu sebelum Panembahan Senopati menjadi raja, beliau pergi ke Pantai Parangkusumo dan duduk di sebuah batu untuk bertapa, hingga Kanjeng Ratu Kidul muncul dan duduk pada sebuah batu yang lebih kecil di depannya. Setelah itu Panembahan Senopati megutarakan permintaannya untuk  memerintah Mataram dan juga meminta kepada Kanjeng Ratu Kidul untuk melindungi dia dan keluarganya. Kanjeng Ratu Kidul yang jatuh cinta kepada Panembahan Senopati pun menyetujui dengan syarat Panembahan Senopati mau menikahinya. Dan Panembahan Senopati pun menyetujuinya dengan juga mengajukan syarat agar pernikahan tersebut tidak menghasilkan keturunan. Itulah mengapa pantai ini juga sering di sebut-sebut sebagai ‘pantai cinta’. Hingga akhirnya, Panembahan Senopati pun benar-benar menjadi Raja Mataram pertama. Cerita inilah yang diduga kuat melatarbelakangi banyak orang yang berkunjung pada hari-hari tertentu, terutama Malam Satu Suro untuk memanjatkan do’a dan berharap Doanya terkabul seperti Panembahan Senopati.

Sejak pukul 19:30 waktu setempat ratusan warga telah memenuhi kawasan Cepuri. Tidak hanya masyarakat wilayah Yogyakarta, masyarakat dari berbagai daerah diluar Jawa pun turut antusias berpartisipasi dalam acara tahunan ini. Saya bahkan bertemu dengan salah seorang pengunjung dari Pontianak, Kalimantan Timur yang mengaku ini adalah kali kedua ia berkunjung ke Pantai Parang Kusumo di malam satu suro. Saya juga bertemu seorang pengunjung bernama Sumarjan, dari Klaten, Jawa Tengah yang mengaku selalu melakukan ritual di Cepuri dan melabuh sesajian di Pantai Parangkusumo ini. Menurutnya, ritual malam satu Suro yang telah dilakukan secara turun temurun mempunyai fungsi agar di kehidupan mendatang dijauhkan dari berbagai bencana, sakit dan diberikan kelancaran dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
 "Ya kita berdoa agar ada kelancaran dalam hidup mendatang," ungkapnya.

Menurut penuturan narasumber yang saya wawancarai, tidak hanya pada Malam Satu Suro, Cepuri Parangkusumo juga akan ramai pengunjung setiap malam selasa kliwon dan jum’at kliwon. Karena menurut kepercayaan orang jawa pada hari-hari itu adalah hari yang keramat atau mempunyai energi yang kuat. Maka mereka percaya, bahwa hari-hari tersebut cocok dan tepat untuk melakukan ritual labuhan.

Saat saya menanyai apa tujuan mengunjungi Cepuri Parangkusumo. Sebagian besar dari mereka menjawab dengan susunan kalimat yang agak berbeda namun memiliki makna yang sama yaitu: ‘berdo’a agar dalam kehidupan diberikan kelancaran, rejeki, kesehatan dan dijauhkan dari hal-hal yang buruk yang mungkin saja akan menimpa mereka di tahun mendatang.

Bambang Legowo selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemkab Bantul, menyatakan kunjungan wisata ke pantai Parangtritis-Parangkusumo saat malam Suro tahun 2015 ini tidak seramai tahun 2014 silam. Gencarnya syiar agama belakangan ini ditengarai turut memicu penurunan jumlah wisatawan.

Saya pribadi jujur saja menarik satu nafas lega saat mengetahui informasi ini, terbesit senyum syukur atas kenyataan yang saya dapati tersebut. Bagaimana tidak, itu artinya ada kemungkinan masyarakat—dalam hal ini umat Islam, yang sudah mulai mengetahui apa yang seharusnya mereka jauhi dan tidak mereka lakukan.

Sudah sejak lama, saya yang notebene seorang Muslimah sejak lahir, merasa risih akan hal-hal berbau kesyirikan yang dibumbui oleh embel-embel budaya agar terselubung dan memeluk masyarakat luas. Namun tetap saja, sepasang mata saya masih bisa menangkap dengan jelas mengenai masih sangat banyak mereka yang mengaku beragama Islam tapi masih melakukan ritual di Cepuri Parangkusumo. Hal ini tentu saja membuat saya merasa miris akan keadaan umat yang tidak lain adalah saudara saya sendiri, sebagai sesama muslim. Saya sadar tidak ada hak untuk men-judge bahwa orang ini salah dan orang ini benar, hanya saja pemahaman saya sejauh ini memberikan respon yang negatif kepada umat Islam yang seolah menggantungkan diri kepada selain Rabb-Nya, Allah Subhanahu Wata’ala. Kelemahan iman dan kemalasanlah yang lagi-lagi menjadi faktor utama mereka melakukan hal-hal seperti itu. Mereka cenderung memilih jalan pintas daripada harus kerja keras.

Selain itu, dampak dari alasan ataupun motif mereka melakukan ritual di Cepuri dan sejenenisnya sebagian besar menjurus kepada hal-hal yang dapat mengotori aqidah seperti: bertawakal bukan kepada Allah (Q.S. Al-Maidah (5) ayat 23) , tidak mengakui karunia Allah (Q.S. Luqman (31) ayat 20), beramal kepada selain Allah (Q.S. Al-An’am (6) ayat 162-163), ta’at secara mutlak kepada selain Allah dan Rasul-Nya Q.S. Al-Maidah (5) ayat 23 . Dan yang lebih parah dari kotornya aqidah mereka adalah kesyirikan yang bisa membinasakan mereka. Seperti Menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah disamping berdo’a kepada Allah.

Firman Allah dalam Al-Qur’an yang menjelaskan ruginya orang yang melakukan kesyirikan:

a) QS Luqman (31):13
Artinya: “Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

b) QS Al-Maidah (5):72
Artinya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”

c) QS Al-An’am (6):88
Artinya: “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” 

            d) QS Az-Zumar (39):65
Artinya: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”

e). QS At-Taubah (9):5
Artinya: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.”

Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa, serta menjadi bagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia dengan status mayoritas muslimnya, yang dapat menyikapi segala sesuatu dengan baik dan benar, yang dapat memfilter mana adat dan budaya yang harus dilestarikan dan mana yang cukup di jadikan sejarah dan pelajaran saja.
 Wallahu A'lam Bishawab.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar