Minggu, 27 Maret 2016

SEJARAH SINGKAT HUKUM ISLAM


Sejarah Singkat Hukum Islam


           
            Berbicara mengenai tumbuh kembang Fiqih sama halnya dengan berbicara tumbuh dan berkembangnya masyarakat Islam. Dimana asas-asas materiil fiqih mulai ditanamkan pada saat Islam lahir di tanah Makkah.
            Pada awalnya, tepat di masa Nabi dan para sahabat, Fiqih belum dikenal sebagai “Fiqih” seperti yang kita kenal sekarang. Nama-nama seperti Malik b Anas, Abu Hanifah, Muhammad b. Idris al-Syafi’i, dan Ahmad b. Hanbal, serta para ahli sesudahnya misalnya al-Ghazali dan al-Tufi adalah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam mewujudkan Fiqih dalam bentuk yang kita kenal saat ini.
            Menurut perspektif “biologis”, sejarah fiqih dilihat sebagai makhluk biologis yang mengalami masa lahir, tumbuh, dewasa dan matang, serta mengalami masa tua renta. Namun tidak pernah pendekatan ini meyatakan bahwa fiqih “mati”, namun sering dipandang tidak mampu lagi berkembang, berhenti atau menimbulkan tema “pintu ijtihad yang tertutup”.
            Berbeda halnya dengan pendekatan biologis, perkembangan Fiqih jika dilihat sejajar dengan perkembangan sejarah politik Islam dilihat menjangkau masa keemasan bersamaan saat masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, dimana saat itu Islam sebagai politik juga tengah mengalami masa keemasan. Namun, saat Baghdad diluluh-lantahkan tentara Tartar, Fiqih dipandang mengalami kemunduran yang lagi-lagi bersamaan saat politik Islam mengalami masa kemunduran. Oleh sebab itu, Fiqih tidak dipandang sebagai entitas sendiri yang memiliki masa dan cara perkembangannya sendiri.
            Meski begitu, jika dilihat dari sudut pandang lain, yang bisa kita sebut “adaptif’, Fiqih mengalami perkembangan yang luar biasa di tiap-tiap konteks dan masa. Ini dibuktikan dengan kemampuan Fiqih dalam beradaptasi terhadap segala keadaan. Fiqih yang adaptif telah mampu menunjukkan pengaruhnya dalam negara-negara modern. Karena faktanya, bahkan dalam konteks negeri modern yang kompleks, hingga saat ini, Fiqih masih mampu mempertahankan kekuatannya baik selaku sumber hukum positif, seperti yang terumuskan dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia, juga selaku hukm otoritatif yang ditunjuk oleh setiap Muslim di seluruh penjuru tempat. Fiqih tetap menunjukkan “kekuasaannya” dengan atau tanpa khilafah, dengan atau tanpa kekuasaan politik. Hal ini diperkuat oleh fakta masih didengar dan dirujuknya fatwa-fatwa Fiqih oleh jutaan Muslim di Eropa dan Amerika.
4 Periode Perkembangan Fiqih
(dengan Perspektif Adaptif)
1.      Zaman Nabi
2.      Zaman Khilafah
3.      Zaman Kolonial
4.      Zaman Negara-Bangsa


Konteks Historis
Masa Jahiliyyah (zaman kegelapan/zaman kebodohan) merupakan kondisi Arab sebelum Islam yang penting untuk diperhatikan sebelum berbicara tentang zaman Nabi. Namun, disebut makna jahiliyyah lebih baik dibatasi sebagai “tidak mengenal wahyu”. Sebab, masyarakat Arab merupakan masyarakat yang telah relatif berkembang untuk ukuran zamannya dan Mekah adalah kota perdagangan yang menurut ukuran zaman itu kontrak dangangnya menjangkau kota-kota ‘metropolitan’.
Oleh karena itu, perkembangan sejarah hukum Islam harus dibaca dalam konteks perkembangan sosial Arab.  Hukum Islam tidak datang di masyarakat tanpa hukum, kemudian bersamaan dengan ekspansi kekuasaan Islam hukum Islam pun turut berasimilasi, beradaptasi dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan lembaga sosial dimana ia berada.
Zaman Nabi
            Masa Nabi merupakan periode terpendek sekaligus terpenting dalam hukum Islam. Masa ini disebut paling unik, karena faktor-faktor yang tidak ditemui di periode lain. Seperti, kehadiran Nabi sebagai figur sentral dan perannya tidak dapat tergantikan oleh seorang pun dalam hukum Islam. Dimana, hanya Nabi yang berperan sebagai perantara langsung dengan sang pembuat hukum Islam (al-Hakim), Allah.
            Pun demikian, penting diingat, Nabi Muhammad SAW tidak Allah utus sebagai hakim, pengacara atau jaksa. Nabi Muhammad SAW hanyalah manusia biasa yang terpilih untuk menerima wahyu, dan wahyu ini terutama berisi kabar tentang kefanaan dunia, hari kiamat serta kehidupan setelah kematian. Serta beliau lah yang mendapat tugas utama “membangun masyarakat etis’ (innama bu’its liutammima makarim al-akhlaq). Oleh sebab itu, hal-hal lain yang muncul kemudian haruslah selalu dihubungkan dengan tugas utama beliau ini: sebagai akibat, sebagai sarana dan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya mengedepankan manusia berakhlak mulia.
            Karena wahyu masih turun dan Nabi masih berada dalam kehidupan umat Islam bahkan berbicara langsung dengan umatnya, Fiqih belum lahir sebagai sebuah disiplin ilmu bahkan masih belum diperlukan dalam batas-batas tertentu periode kenabian.
Berlakunya Hukum
            Ada tiga kemungkinan muncul dan berlakunya sebuah hukum pada masa ini. Pertama, hukum yang berlaku dengan melanjutkan atau memodifikasi hukum yang sudah ada sejak zaman pra-Islam. Kedua, hukum yang muncul secara langsung berdasarkan wahyu. Ketiga, hukum yang muncul karena pertanyaan-pertanyaan umat. Ketiganya menunjukkan bahwa Fiqih sebagai ilmu untuk menemukan hukum Allah pada dasarnya memang tidak diperlukan di zaman Nabi. Meskipun begitu, ternyata telah lahir praktik cikal bakal Fiqih di zaman ini di bawah bimbingan dan persetujuan Nabi. Praktik “ber-Fiqih” utamanya yang dilakukan para Sahabat Nabi sebagai utusan beliau dalam mendakwahkan Islam dari Madinah ke tempat-tempat yang jauh. Salah satu contohnya adalah diutusnya Sahabat Mu’adz b Jabal ke Yaman. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa meskipun belum menjadi sebuah metode berfikir yang mapan, fiqih sudah lahir dalam bentuknya yang masih sangat dini.
            Lewat tiga model muncul dan berlakunya hukum tersebut, jelas bahwa pemberlakuan hukum sebenarnya bukan tujuan dari agama ini. Kebutuhan temporal masa itu sangat memengaruhi cara-cara hukum itu ditetapkan. Oleh Allah dan Nabi, hukum tidak begitu saja di obral sebab hukum bukan tujuan disyariatkannya Islam.
Zaman Khilafah (632 M – 1924 M)
            Periode terpanjang dalam perjalanan sejarah hukum islam ini dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai pada pembubaran institusi khilafah Turki Utsmani tahun 1924. Saat itu hukum Islam mengalami evolusi yang sempurna dari masa formasi hingga masa kematangan.
            Pertanyaan tentang siapakah yang akan menggantikan Nabi Muhammad setelah wafat rupanya menjadi hal yang melatarbelakangi lahirnya lembaga khilafah, yang juga menimbulkan terpecahnya umat. Satu golongan yakin bahwa nabi Muhammad telah menunjuk pengganti dan golongan lainnya yakin bahwa umat Islam diberi kebebasan untuk memilih sendiri siapa pemimpin penerus beliau. Golongan pertama (Syi’i) pada akhirnya kalah dari golongan kedua yang lebih besar (Sunni). Dua kelompok tersebut kemudian mengembangkan hukum Islam secara terpisah karena faktor-faktor aqidah yang mereka yakini kebenarannya. Faktor-faktor Aqidah tersebut juga yang diyakini  menjadi implikasi terhadap cara pandang mereka terhadap dalil-dalil hukum Islam.
            Hukum Islam mulai berkembang di bawah kaum Sunni melalui tangan para murid nabi Muhammad (sahabat) yang tersebar di berbagai penjuru dunia yang telah ditaklukkan di tanah arab hingga dalam ekspansi ke utara, barat, dan timur semenanjung Arab.  Madinah di Jazirah Arab (yang mempertahankan tradisi/sunnah) dan Kufah di iraq (yang mengedepankan nalar/ra’y) merupakan dua kota penting yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam Sunni.
            Kufah kemudian memerkenalkan kita imam Abu Hanifah dan mazhab Hanafinya. Dan dari  Madinah muncul imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan, imam Syafi’i adalah murid imam Malik dan pernah tinggal di Kufah beberapa saat. Hingga beliau akhirnya menetap di Mesir dan membangun Mahzabnya.
            Hukum Islam menjadi tuan di negeri sendiri pada periode khilaf ini. Muslim Arab, secara politk tidak hanya menjadi penguasa di negerinya, tetapi juga menaklukkan negeri-negeri lain dan menyebarkan Islam ke berbagai belahan dunia. Hukum Islam menjadi hukum primer yang mengatur urusan pribadi, umum bahkan hubungan antar negara.
            Gambaran karakter utama hukum Islam di masa khalifah adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Islam menjadi kodifikasi dari sekedar praktik berfatwa yang tidak tersistematisasi menjadi disiplin yang mapan, yang lengkap dengan teori dan metodologinya. Ratusan kitab ditulis oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan teoritis maupun praktis yang terkait dengan hukum Islam.
2.      Dengan berhentinya wahyu, para penerus Nabi diharuskan untuk memberikan solusi atas persoalan-persoalan hukum baru umat Islam. Dua jalan yang bisa ditempuh, mengembangkan ketentuan al-Qur’an dan Al-Sunnah dan menggunakan nalar (ra’y0 agar ditemukan solusi yang tetap sesuai dengan maksud pembuat hukum (Allah). Yynag akhirnya memunculkan metode Qiyas, Ijma’, Istihsan, Maslahah Mursalah dsb.
3.      Lahirnya mazhab-mazhab dalam hukum Islam yang mnegembangkan berbagai pondasi dan kaidah-kaidah dalam memahami dan mempraktikkan hukum Islam.
4.      Hukum Islam dipraktikkan menjadi satu-satunya hukum yang berlaku di seluruh negeri Muslim, dari Cordova di Spanyol sampai Ternate di ujung Timur Maluku.

Berlakunya hukum Islam
            Perubahan fundamental yang terjadi pada masa ini adalah perpisahan institusional otoritas keagamaan danotoritas politik. Walaupun banyak orang yang mengatakan Islam tidak mengenal sekularisme, tapi jelaslah bahwa selepas Nabi wafat para khalifah tidak langsung mendapat kekuasaan keagamaan sebesar yang dipegang Nabi. Terkecuali bahwa si khilafah mempunyai kualifikasi keulamaan, otoritas keilmuan hukum Islam beralih dari tangan politik ke tangan fuqaba’ atau para ahli hukum Islam.
            Pergesaran ini diawali pada masa-masa awal pemerintahan Abu Bakar saat beliau dinilai melampaui batas atas tindakan menabuh genderang perang terhadap suku-suku yang menolak membayar zakat. Ijtihad Abu Bakar menyatakan apa yang didapatkan Nabi juga harus ia dapatkan, termasuk zakat yang juga harus disetor ke negara yang beliau pimpin. Sementara Umar, berfikir berbeda: kewajiban khilafah adalah melindungi mereka yang sudah Muslim, menjamin keselamatan nyawa dan harta mereka, bukan malah mengambil harta mereka. Namun begitu, pada akhirnya, Umar menyetujui Abu Bakr.
            Selain masalah otoritas pasca-Nabi, riwayat itu juga menyimpan pelajaran penting tentang sejarah fiqih. Seperti, proses ‘pemapanan’ (establishment) hukum, hingga otoritas khalifah dalam berijtihad dan dipatuhi ijtihadnya adalah anomali.
Zaman Kolonial
            Sekian abad berkuasa atas diri mereka sendiri, akhirnya sebagian besar negeri umat Islam dijajah oleh kekuatan kolonial Eropa. Yang tersisa menjadi entitas politik yang merdeka hanyalah Turki dan Daulah Utsmaniyyah saja. Bukan hanya jatuh di tangan Eropa tetapi juga terpecah belah saling bermusuhan. Bahkan sering ditemui kekuatan Eropa bergabung bersama kekuatan Muslim untuk melawan kekuatan Muslim lainnya, seperti saat para pemberontak di Saudi Arabia yang menggandeng Inggris unuk melawan khilafah Turki Utsmani, khilafah terakhir.
            Sementara Turki Utmani sibuk memertahankan diri dari kekuatan Eropa, wilayah-wilayah muslim yang sejak beberapa abad sebelumnya sudah memiliki otonomi lokal juga berusaha memertahankan diri dari kolonialisme Eropa di wilayahnya. Dan dizaman kolonial, di wilayah-wilayah Islam itu muncul beberapa model yang diantaranya adalah: Model otonom, yang secara politik mereka takluk di bawah kekuasaan Eropa tetapi mereka mempunyai otonomi penuh untuk mengatur kerajaan atau kesultanan mereka. Kemudian, Model hegemonik, dimana kerajaan-kerajaan Islam dhancurkan kekuatannya dan wilayahnya diambil alih sepenuhnya oleh Eropa.
Zaman Negara-Bangsa
            Berakhirnya masa penjajahan mengembalikan satu-persatu negeri Muslim memperoleh kemerdekaan politiknya. Namun mereka lahir kembali dengan format yang berbeda, yakni nation state. Sebagian negara berbentuk kerajaan, dan sebagian lainnya republik. Yang jelas mirisnya, perjalanan sejarah tidak memberikan jalan bagi hukum Islam untuk kembali ke format pra-kolonial. 2 Faktor yang melatarbelakanginya adalah: Pertama, perubahan entitas politik. Khilafah tidak lagi dipandang sebagai bentuk yang ideal bagi entitas-entitas politik Muslim yang bahasa dan adat istiadatnya berbeda. Kedua, karena khilafah sudah berubah menjadi “negara” yang lebih “sekular”, maka menyerahkan hukum Islam kepada entitas sekular juga bukan pilihan tepat.
Beragam Format Hukum Islam
(muncul karena situasi baru yang dihadapi)
1.      Berkolaborasi sepenuhnya dengan negara bangsa di negara-negara yang secara demografis berpenduduk mayoritas Muslim. Negara mereka menjadi negara Islam dan memilih hukum Islam sebagai hukum negara, serta al-Qur’an dan Sunnah sebagai konstitusi. Contoh negaranyanya adalah Saudi Arabia dan Pakistan.
2.      Berperan di wilayah hukum keluarga. Pernikahan dan kewarisan adalah dua wilayah yang biasa diatur sepenuhnya menurut hukum Islam sementara di wilayah lain dipakai hukum nasional yang mengatur warga negara tidak berdasarkan agamanya. Banyak negara yang menerapkan format ini, diantaranya adalah Indonesia, Malaysia, Tunisia, Maroko, dan Turki
Menyusul kemudian, hukum Islam dalam hal bisnis dan keuangan mulai diterapkan. Pasar Timur Tengah dan dunia Islam pada umumnya yang menjanjikan bahkan mendorong sejumlah negara Barat untuk mengadopsi sistem perbankan syariah. Perusahaan multi-nasional bahkan turut mengadopsi asuransi syari’ah.
Fase-Fase Kehidupan Hukum Islam
Pertama, fase permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah SAW sampai wafatnya.
Kedua, fase persiapan hukum Islam, dimulai dari masa khalifah pertama sampai selesainya masa sahabat, atau dari tahun sebelas Hijriah sampai akhir-akhir abad pertama Hijriah
Ketiga, fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya imam-imam mujtahidin besar, dimulai dari awal-awal abad kedua hijriah sampai pertengahan abad keempat hijriah, jadi kurang lebih selama 250 tahun.
Keempat, fase kemunduran hukum Islam sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan, dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir-akhir abad ketiga belas hhijriah, yakni sampai lahirnya buku “Majallatul Ahkamil Adliyyah”.
Kelima, fase kebangunan, yaitu dimuali dari lahirnya buku tersebut sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar