Sejarah Singkat Hukum Islam |
Berbicara
mengenai tumbuh kembang Fiqih sama halnya dengan berbicara tumbuh dan
berkembangnya masyarakat Islam. Dimana asas-asas materiil fiqih mulai
ditanamkan pada saat Islam lahir di tanah Makkah.
Pada
awalnya, tepat di masa Nabi dan para sahabat, Fiqih belum dikenal sebagai
“Fiqih” seperti yang kita kenal sekarang. Nama-nama seperti Malik b Anas, Abu
Hanifah, Muhammad b. Idris al-Syafi’i, dan Ahmad b. Hanbal, serta para ahli
sesudahnya misalnya al-Ghazali dan al-Tufi adalah tokoh-tokoh yang berperan
penting dalam mewujudkan Fiqih dalam bentuk yang kita kenal saat ini.
Menurut
perspektif “biologis”, sejarah fiqih dilihat sebagai makhluk biologis yang
mengalami masa lahir, tumbuh, dewasa dan matang, serta mengalami masa tua
renta. Namun tidak pernah pendekatan ini meyatakan bahwa fiqih “mati”, namun
sering dipandang tidak mampu lagi berkembang, berhenti atau menimbulkan tema
“pintu ijtihad yang tertutup”.
Berbeda
halnya dengan pendekatan biologis, perkembangan Fiqih jika dilihat sejajar
dengan perkembangan sejarah politik Islam dilihat menjangkau masa keemasan
bersamaan saat masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, dimana saat itu Islam sebagai
politik juga tengah mengalami masa keemasan. Namun, saat Baghdad
diluluh-lantahkan tentara Tartar, Fiqih dipandang mengalami kemunduran yang
lagi-lagi bersamaan saat politik Islam mengalami masa kemunduran. Oleh sebab
itu, Fiqih tidak dipandang sebagai entitas sendiri yang memiliki masa dan cara
perkembangannya sendiri.
Meski
begitu, jika dilihat dari sudut pandang lain, yang bisa kita sebut “adaptif’,
Fiqih mengalami perkembangan yang luar biasa di tiap-tiap konteks dan masa. Ini
dibuktikan dengan kemampuan Fiqih dalam beradaptasi terhadap segala keadaan.
Fiqih yang adaptif telah mampu menunjukkan pengaruhnya dalam negara-negara
modern. Karena faktanya, bahkan dalam konteks negeri modern yang kompleks,
hingga saat ini, Fiqih masih mampu mempertahankan kekuatannya baik selaku
sumber hukum positif, seperti yang terumuskan dalam kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, juga selaku hukm otoritatif yang ditunjuk oleh setiap Muslim di
seluruh penjuru tempat. Fiqih tetap menunjukkan “kekuasaannya” dengan atau
tanpa khilafah, dengan atau tanpa kekuasaan politik. Hal ini diperkuat oleh
fakta masih didengar dan dirujuknya fatwa-fatwa Fiqih oleh jutaan Muslim di
Eropa dan Amerika.
4
Periode Perkembangan Fiqih
(dengan Perspektif Adaptif)
(dengan Perspektif Adaptif)
1.
Zaman
Nabi
2.
Zaman
Khilafah
3.
Zaman
Kolonial
4.
Zaman
Negara-Bangsa
Konteks Historis
Masa Jahiliyyah (zaman kegelapan/zaman
kebodohan) merupakan kondisi Arab sebelum Islam yang penting untuk diperhatikan
sebelum berbicara tentang zaman Nabi. Namun, disebut makna jahiliyyah lebih
baik dibatasi sebagai “tidak mengenal wahyu”. Sebab, masyarakat Arab merupakan masyarakat
yang telah relatif berkembang untuk ukuran zamannya dan Mekah adalah kota
perdagangan yang menurut ukuran zaman itu kontrak dangangnya menjangkau
kota-kota ‘metropolitan’.
Oleh karena itu,
perkembangan sejarah hukum Islam harus dibaca dalam konteks perkembangan sosial
Arab. Hukum Islam tidak datang di
masyarakat tanpa hukum, kemudian bersamaan dengan ekspansi kekuasaan Islam
hukum Islam pun turut berasimilasi, beradaptasi dan berkembang sesuai dengan
lingkungan dan lembaga sosial dimana ia berada.
Zaman Nabi
Masa Nabi
merupakan periode terpendek sekaligus terpenting dalam hukum Islam. Masa ini
disebut paling unik, karena faktor-faktor yang tidak ditemui di periode lain.
Seperti, kehadiran Nabi sebagai figur sentral dan perannya tidak dapat tergantikan
oleh seorang pun dalam hukum Islam. Dimana, hanya Nabi yang berperan sebagai
perantara langsung dengan sang pembuat hukum Islam (al-Hakim), Allah.
Pun
demikian, penting diingat, Nabi Muhammad SAW tidak Allah utus sebagai hakim,
pengacara atau jaksa. Nabi Muhammad SAW hanyalah manusia biasa yang terpilih
untuk menerima wahyu, dan wahyu ini terutama berisi kabar tentang kefanaan
dunia, hari kiamat serta kehidupan setelah kematian. Serta beliau lah yang
mendapat tugas utama “membangun masyarakat etis’ (innama bu’its liutammima makarim al-akhlaq). Oleh sebab itu,
hal-hal lain yang muncul kemudian haruslah selalu dihubungkan dengan tugas
utama beliau ini: sebagai akibat, sebagai sarana dan sebagai bagian tak
terpisahkan dari upaya mengedepankan manusia berakhlak mulia.
Karena
wahyu masih turun dan Nabi masih berada dalam kehidupan umat Islam bahkan
berbicara langsung dengan umatnya, Fiqih belum lahir sebagai sebuah disiplin
ilmu bahkan masih belum diperlukan dalam batas-batas tertentu periode kenabian.
Berlakunya
Hukum
Ada
tiga kemungkinan muncul dan berlakunya sebuah hukum pada masa ini. Pertama, hukum yang berlaku dengan
melanjutkan atau memodifikasi hukum yang sudah ada sejak zaman pra-Islam. Kedua, hukum yang muncul secara
langsung berdasarkan wahyu. Ketiga,
hukum yang muncul karena pertanyaan-pertanyaan umat. Ketiganya menunjukkan
bahwa Fiqih sebagai ilmu untuk menemukan hukum Allah pada dasarnya memang tidak
diperlukan di zaman Nabi. Meskipun begitu, ternyata telah lahir praktik cikal
bakal Fiqih di zaman ini di bawah bimbingan dan persetujuan Nabi. Praktik
“ber-Fiqih” utamanya yang dilakukan para Sahabat Nabi sebagai utusan beliau
dalam mendakwahkan Islam dari Madinah ke tempat-tempat yang jauh. Salah satu
contohnya adalah diutusnya Sahabat Mu’adz b Jabal ke Yaman. Sebuah riwayat
menyebutkan bahwa meskipun belum menjadi sebuah metode berfikir yang mapan,
fiqih sudah lahir dalam bentuknya yang masih sangat dini.
Lewat
tiga model muncul dan berlakunya hukum tersebut, jelas bahwa pemberlakuan hukum
sebenarnya bukan tujuan dari agama ini. Kebutuhan temporal masa itu sangat
memengaruhi cara-cara hukum itu ditetapkan. Oleh Allah dan Nabi, hukum tidak
begitu saja di obral sebab hukum bukan tujuan disyariatkannya Islam.
Zaman
Khilafah (632 M – 1924 M)
Periode
terpanjang dalam perjalanan sejarah hukum islam ini dimulai dari wafatnya Nabi
Muhammad SAW sampai pada pembubaran institusi khilafah Turki Utsmani tahun
1924. Saat itu hukum Islam mengalami evolusi yang sempurna dari masa formasi
hingga masa kematangan.
Pertanyaan
tentang siapakah yang akan menggantikan Nabi Muhammad setelah wafat rupanya
menjadi hal yang melatarbelakangi lahirnya lembaga khilafah, yang juga
menimbulkan terpecahnya umat. Satu golongan yakin bahwa nabi Muhammad telah
menunjuk pengganti dan golongan lainnya yakin bahwa umat Islam diberi kebebasan
untuk memilih sendiri siapa pemimpin penerus beliau. Golongan pertama (Syi’i)
pada akhirnya kalah dari golongan kedua yang lebih besar (Sunni). Dua kelompok
tersebut kemudian mengembangkan hukum Islam secara terpisah karena
faktor-faktor aqidah yang mereka yakini kebenarannya. Faktor-faktor Aqidah
tersebut juga yang diyakini menjadi
implikasi terhadap cara pandang mereka terhadap dalil-dalil hukum Islam.
Hukum
Islam mulai berkembang di bawah kaum Sunni melalui tangan para murid nabi
Muhammad (sahabat) yang tersebar di berbagai penjuru dunia yang telah
ditaklukkan di tanah arab hingga dalam ekspansi ke utara, barat, dan timur
semenanjung Arab. Madinah di Jazirah
Arab (yang mempertahankan tradisi/sunnah)
dan Kufah di iraq (yang mengedepankan nalar/ra’y)
merupakan dua kota penting yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam Sunni.
Kufah
kemudian memerkenalkan kita imam Abu Hanifah dan mazhab Hanafinya. Dan
dari Madinah muncul imam Malik bin Anas
dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan, imam Syafi’i adalah murid imam Malik dan
pernah tinggal di Kufah beberapa saat. Hingga beliau akhirnya menetap di Mesir
dan membangun Mahzabnya.
Hukum
Islam menjadi tuan di negeri sendiri pada periode khilaf ini. Muslim Arab,
secara politk tidak hanya menjadi penguasa di negerinya, tetapi juga
menaklukkan negeri-negeri lain dan menyebarkan Islam ke berbagai belahan dunia.
Hukum Islam menjadi hukum primer yang mengatur urusan pribadi, umum bahkan
hubungan antar negara.
Gambaran
karakter utama hukum Islam di masa khalifah adalah sebagai berikut:
1. Hukum
Islam menjadi kodifikasi dari sekedar praktik berfatwa yang tidak
tersistematisasi menjadi disiplin yang mapan, yang lengkap dengan teori dan
metodologinya. Ratusan kitab ditulis oleh para ulama untuk menjawab
persoalan-persoalan teoritis maupun praktis yang terkait dengan hukum Islam.
2. Dengan
berhentinya wahyu, para penerus Nabi diharuskan untuk memberikan solusi atas
persoalan-persoalan hukum baru umat Islam. Dua jalan yang bisa ditempuh,
mengembangkan ketentuan al-Qur’an dan Al-Sunnah dan menggunakan nalar (ra’y0
agar ditemukan solusi yang tetap sesuai dengan maksud pembuat hukum (Allah).
Yynag akhirnya memunculkan metode Qiyas, Ijma’, Istihsan, Maslahah Mursalah
dsb.
3. Lahirnya
mazhab-mazhab dalam hukum Islam yang mnegembangkan berbagai pondasi dan
kaidah-kaidah dalam memahami dan mempraktikkan hukum Islam.
4. Hukum
Islam dipraktikkan menjadi satu-satunya hukum yang berlaku di seluruh negeri
Muslim, dari Cordova di Spanyol sampai Ternate di ujung Timur Maluku.
Berlakunya
hukum Islam
Perubahan
fundamental yang terjadi pada masa ini adalah perpisahan institusional otoritas
keagamaan danotoritas politik. Walaupun banyak orang yang mengatakan Islam
tidak mengenal sekularisme, tapi jelaslah bahwa selepas Nabi wafat para
khalifah tidak langsung mendapat kekuasaan keagamaan sebesar yang dipegang
Nabi. Terkecuali bahwa si khilafah mempunyai kualifikasi keulamaan, otoritas
keilmuan hukum Islam beralih dari tangan politik ke tangan fuqaba’ atau para ahli hukum Islam.
Pergesaran
ini diawali pada masa-masa awal pemerintahan Abu Bakar saat beliau dinilai
melampaui batas atas tindakan menabuh genderang perang terhadap suku-suku yang
menolak membayar zakat. Ijtihad Abu Bakar menyatakan apa yang didapatkan Nabi
juga harus ia dapatkan, termasuk zakat yang juga harus disetor ke negara yang
beliau pimpin. Sementara Umar, berfikir berbeda: kewajiban khilafah adalah
melindungi mereka yang sudah Muslim, menjamin keselamatan nyawa dan harta mereka,
bukan malah mengambil harta mereka. Namun begitu, pada akhirnya, Umar
menyetujui Abu Bakr.
Selain
masalah otoritas pasca-Nabi, riwayat itu juga menyimpan pelajaran penting
tentang sejarah fiqih. Seperti, proses ‘pemapanan’ (establishment) hukum, hingga otoritas khalifah dalam berijtihad dan
dipatuhi ijtihadnya adalah anomali.
Zaman
Kolonial
Sekian abad
berkuasa atas diri mereka sendiri, akhirnya sebagian besar negeri umat Islam
dijajah oleh kekuatan kolonial Eropa. Yang tersisa menjadi entitas politik yang
merdeka hanyalah Turki dan Daulah Utsmaniyyah saja. Bukan hanya jatuh di tangan
Eropa tetapi juga terpecah belah saling bermusuhan. Bahkan sering ditemui
kekuatan Eropa bergabung bersama kekuatan Muslim untuk melawan kekuatan Muslim
lainnya, seperti saat para pemberontak di Saudi Arabia yang menggandeng Inggris
unuk melawan khilafah Turki Utsmani, khilafah terakhir.
Sementara
Turki Utmani sibuk memertahankan diri dari kekuatan Eropa, wilayah-wilayah
muslim yang sejak beberapa abad sebelumnya sudah memiliki otonomi lokal juga
berusaha memertahankan diri dari kolonialisme Eropa di wilayahnya. Dan dizaman
kolonial, di wilayah-wilayah Islam itu muncul beberapa model yang diantaranya
adalah: Model otonom, yang secara politik mereka takluk di bawah kekuasaan
Eropa tetapi mereka mempunyai otonomi penuh untuk mengatur kerajaan atau
kesultanan mereka. Kemudian, Model hegemonik, dimana kerajaan-kerajaan Islam
dhancurkan kekuatannya dan wilayahnya diambil alih sepenuhnya oleh Eropa.
Zaman
Negara-Bangsa
Berakhirnya masa
penjajahan mengembalikan satu-persatu negeri Muslim memperoleh kemerdekaan
politiknya. Namun mereka lahir kembali dengan format yang berbeda, yakni nation state. Sebagian negara berbentuk
kerajaan, dan sebagian lainnya republik. Yang jelas mirisnya, perjalanan
sejarah tidak memberikan jalan bagi hukum Islam untuk kembali ke format
pra-kolonial. 2 Faktor yang melatarbelakanginya adalah: Pertama, perubahan entitas politik. Khilafah tidak lagi dipandang
sebagai bentuk yang ideal bagi entitas-entitas politik Muslim yang bahasa dan
adat istiadatnya berbeda. Kedua,
karena khilafah sudah berubah menjadi “negara” yang lebih “sekular”, maka
menyerahkan hukum Islam kepada entitas sekular juga bukan pilihan tepat.
Beragam
Format Hukum Islam
(muncul karena situasi baru yang dihadapi)
(muncul karena situasi baru yang dihadapi)
1. Berkolaborasi
sepenuhnya dengan negara bangsa di negara-negara yang secara demografis
berpenduduk mayoritas Muslim. Negara mereka menjadi negara Islam dan memilih
hukum Islam sebagai hukum negara, serta al-Qur’an dan Sunnah sebagai
konstitusi. Contoh negaranyanya adalah Saudi Arabia dan Pakistan.
2. Berperan
di wilayah hukum keluarga. Pernikahan dan kewarisan adalah dua wilayah yang
biasa diatur sepenuhnya menurut hukum Islam sementara di wilayah lain dipakai
hukum nasional yang mengatur warga negara tidak berdasarkan agamanya. Banyak
negara yang menerapkan format ini, diantaranya adalah Indonesia, Malaysia,
Tunisia, Maroko, dan Turki
Menyusul
kemudian, hukum Islam dalam hal bisnis dan keuangan mulai diterapkan. Pasar
Timur Tengah dan dunia Islam pada umumnya yang menjanjikan bahkan mendorong
sejumlah negara Barat untuk mengadopsi sistem perbankan syariah. Perusahaan
multi-nasional bahkan turut mengadopsi asuransi syari’ah.
Fase-Fase
Kehidupan Hukum Islam
Pertama,
fase permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah SAW sampai
wafatnya.
Kedua,
fase persiapan hukum Islam, dimulai dari masa khalifah pertama sampai
selesainya masa sahabat, atau dari tahun sebelas Hijriah sampai akhir-akhir
abad pertama Hijriah
Ketiga,
fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya imam-imam mujtahidin
besar, dimulai dari awal-awal abad kedua hijriah sampai pertengahan abad
keempat hijriah, jadi kurang lebih selama 250 tahun.
Keempat,
fase kemunduran hukum Islam sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan,
dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir-akhir abad ketiga
belas hhijriah, yakni sampai lahirnya buku “Majallatul Ahkamil Adliyyah”.
Kelima,
fase kebangunan, yaitu dimuali dari lahirnya buku tersebut sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar