Minggu, 27 Maret 2016

SEJARAH SINGKAT HUKUM ISLAM


Sejarah Singkat Hukum Islam


           
            Berbicara mengenai tumbuh kembang Fiqih sama halnya dengan berbicara tumbuh dan berkembangnya masyarakat Islam. Dimana asas-asas materiil fiqih mulai ditanamkan pada saat Islam lahir di tanah Makkah.
            Pada awalnya, tepat di masa Nabi dan para sahabat, Fiqih belum dikenal sebagai “Fiqih” seperti yang kita kenal sekarang. Nama-nama seperti Malik b Anas, Abu Hanifah, Muhammad b. Idris al-Syafi’i, dan Ahmad b. Hanbal, serta para ahli sesudahnya misalnya al-Ghazali dan al-Tufi adalah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam mewujudkan Fiqih dalam bentuk yang kita kenal saat ini.
            Menurut perspektif “biologis”, sejarah fiqih dilihat sebagai makhluk biologis yang mengalami masa lahir, tumbuh, dewasa dan matang, serta mengalami masa tua renta. Namun tidak pernah pendekatan ini meyatakan bahwa fiqih “mati”, namun sering dipandang tidak mampu lagi berkembang, berhenti atau menimbulkan tema “pintu ijtihad yang tertutup”.
            Berbeda halnya dengan pendekatan biologis, perkembangan Fiqih jika dilihat sejajar dengan perkembangan sejarah politik Islam dilihat menjangkau masa keemasan bersamaan saat masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, dimana saat itu Islam sebagai politik juga tengah mengalami masa keemasan. Namun, saat Baghdad diluluh-lantahkan tentara Tartar, Fiqih dipandang mengalami kemunduran yang lagi-lagi bersamaan saat politik Islam mengalami masa kemunduran. Oleh sebab itu, Fiqih tidak dipandang sebagai entitas sendiri yang memiliki masa dan cara perkembangannya sendiri.
            Meski begitu, jika dilihat dari sudut pandang lain, yang bisa kita sebut “adaptif’, Fiqih mengalami perkembangan yang luar biasa di tiap-tiap konteks dan masa. Ini dibuktikan dengan kemampuan Fiqih dalam beradaptasi terhadap segala keadaan. Fiqih yang adaptif telah mampu menunjukkan pengaruhnya dalam negara-negara modern. Karena faktanya, bahkan dalam konteks negeri modern yang kompleks, hingga saat ini, Fiqih masih mampu mempertahankan kekuatannya baik selaku sumber hukum positif, seperti yang terumuskan dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia, juga selaku hukm otoritatif yang ditunjuk oleh setiap Muslim di seluruh penjuru tempat. Fiqih tetap menunjukkan “kekuasaannya” dengan atau tanpa khilafah, dengan atau tanpa kekuasaan politik. Hal ini diperkuat oleh fakta masih didengar dan dirujuknya fatwa-fatwa Fiqih oleh jutaan Muslim di Eropa dan Amerika.
4 Periode Perkembangan Fiqih
(dengan Perspektif Adaptif)
1.      Zaman Nabi
2.      Zaman Khilafah
3.      Zaman Kolonial
4.      Zaman Negara-Bangsa


Konteks Historis
Masa Jahiliyyah (zaman kegelapan/zaman kebodohan) merupakan kondisi Arab sebelum Islam yang penting untuk diperhatikan sebelum berbicara tentang zaman Nabi. Namun, disebut makna jahiliyyah lebih baik dibatasi sebagai “tidak mengenal wahyu”. Sebab, masyarakat Arab merupakan masyarakat yang telah relatif berkembang untuk ukuran zamannya dan Mekah adalah kota perdagangan yang menurut ukuran zaman itu kontrak dangangnya menjangkau kota-kota ‘metropolitan’.
Oleh karena itu, perkembangan sejarah hukum Islam harus dibaca dalam konteks perkembangan sosial Arab.  Hukum Islam tidak datang di masyarakat tanpa hukum, kemudian bersamaan dengan ekspansi kekuasaan Islam hukum Islam pun turut berasimilasi, beradaptasi dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan lembaga sosial dimana ia berada.
Zaman Nabi
            Masa Nabi merupakan periode terpendek sekaligus terpenting dalam hukum Islam. Masa ini disebut paling unik, karena faktor-faktor yang tidak ditemui di periode lain. Seperti, kehadiran Nabi sebagai figur sentral dan perannya tidak dapat tergantikan oleh seorang pun dalam hukum Islam. Dimana, hanya Nabi yang berperan sebagai perantara langsung dengan sang pembuat hukum Islam (al-Hakim), Allah.
            Pun demikian, penting diingat, Nabi Muhammad SAW tidak Allah utus sebagai hakim, pengacara atau jaksa. Nabi Muhammad SAW hanyalah manusia biasa yang terpilih untuk menerima wahyu, dan wahyu ini terutama berisi kabar tentang kefanaan dunia, hari kiamat serta kehidupan setelah kematian. Serta beliau lah yang mendapat tugas utama “membangun masyarakat etis’ (innama bu’its liutammima makarim al-akhlaq). Oleh sebab itu, hal-hal lain yang muncul kemudian haruslah selalu dihubungkan dengan tugas utama beliau ini: sebagai akibat, sebagai sarana dan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya mengedepankan manusia berakhlak mulia.
            Karena wahyu masih turun dan Nabi masih berada dalam kehidupan umat Islam bahkan berbicara langsung dengan umatnya, Fiqih belum lahir sebagai sebuah disiplin ilmu bahkan masih belum diperlukan dalam batas-batas tertentu periode kenabian.
Berlakunya Hukum
            Ada tiga kemungkinan muncul dan berlakunya sebuah hukum pada masa ini. Pertama, hukum yang berlaku dengan melanjutkan atau memodifikasi hukum yang sudah ada sejak zaman pra-Islam. Kedua, hukum yang muncul secara langsung berdasarkan wahyu. Ketiga, hukum yang muncul karena pertanyaan-pertanyaan umat. Ketiganya menunjukkan bahwa Fiqih sebagai ilmu untuk menemukan hukum Allah pada dasarnya memang tidak diperlukan di zaman Nabi. Meskipun begitu, ternyata telah lahir praktik cikal bakal Fiqih di zaman ini di bawah bimbingan dan persetujuan Nabi. Praktik “ber-Fiqih” utamanya yang dilakukan para Sahabat Nabi sebagai utusan beliau dalam mendakwahkan Islam dari Madinah ke tempat-tempat yang jauh. Salah satu contohnya adalah diutusnya Sahabat Mu’adz b Jabal ke Yaman. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa meskipun belum menjadi sebuah metode berfikir yang mapan, fiqih sudah lahir dalam bentuknya yang masih sangat dini.
            Lewat tiga model muncul dan berlakunya hukum tersebut, jelas bahwa pemberlakuan hukum sebenarnya bukan tujuan dari agama ini. Kebutuhan temporal masa itu sangat memengaruhi cara-cara hukum itu ditetapkan. Oleh Allah dan Nabi, hukum tidak begitu saja di obral sebab hukum bukan tujuan disyariatkannya Islam.
Zaman Khilafah (632 M – 1924 M)
            Periode terpanjang dalam perjalanan sejarah hukum islam ini dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai pada pembubaran institusi khilafah Turki Utsmani tahun 1924. Saat itu hukum Islam mengalami evolusi yang sempurna dari masa formasi hingga masa kematangan.
            Pertanyaan tentang siapakah yang akan menggantikan Nabi Muhammad setelah wafat rupanya menjadi hal yang melatarbelakangi lahirnya lembaga khilafah, yang juga menimbulkan terpecahnya umat. Satu golongan yakin bahwa nabi Muhammad telah menunjuk pengganti dan golongan lainnya yakin bahwa umat Islam diberi kebebasan untuk memilih sendiri siapa pemimpin penerus beliau. Golongan pertama (Syi’i) pada akhirnya kalah dari golongan kedua yang lebih besar (Sunni). Dua kelompok tersebut kemudian mengembangkan hukum Islam secara terpisah karena faktor-faktor aqidah yang mereka yakini kebenarannya. Faktor-faktor Aqidah tersebut juga yang diyakini  menjadi implikasi terhadap cara pandang mereka terhadap dalil-dalil hukum Islam.
            Hukum Islam mulai berkembang di bawah kaum Sunni melalui tangan para murid nabi Muhammad (sahabat) yang tersebar di berbagai penjuru dunia yang telah ditaklukkan di tanah arab hingga dalam ekspansi ke utara, barat, dan timur semenanjung Arab.  Madinah di Jazirah Arab (yang mempertahankan tradisi/sunnah) dan Kufah di iraq (yang mengedepankan nalar/ra’y) merupakan dua kota penting yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam Sunni.
            Kufah kemudian memerkenalkan kita imam Abu Hanifah dan mazhab Hanafinya. Dan dari  Madinah muncul imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan, imam Syafi’i adalah murid imam Malik dan pernah tinggal di Kufah beberapa saat. Hingga beliau akhirnya menetap di Mesir dan membangun Mahzabnya.
            Hukum Islam menjadi tuan di negeri sendiri pada periode khilaf ini. Muslim Arab, secara politk tidak hanya menjadi penguasa di negerinya, tetapi juga menaklukkan negeri-negeri lain dan menyebarkan Islam ke berbagai belahan dunia. Hukum Islam menjadi hukum primer yang mengatur urusan pribadi, umum bahkan hubungan antar negara.
            Gambaran karakter utama hukum Islam di masa khalifah adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Islam menjadi kodifikasi dari sekedar praktik berfatwa yang tidak tersistematisasi menjadi disiplin yang mapan, yang lengkap dengan teori dan metodologinya. Ratusan kitab ditulis oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan teoritis maupun praktis yang terkait dengan hukum Islam.
2.      Dengan berhentinya wahyu, para penerus Nabi diharuskan untuk memberikan solusi atas persoalan-persoalan hukum baru umat Islam. Dua jalan yang bisa ditempuh, mengembangkan ketentuan al-Qur’an dan Al-Sunnah dan menggunakan nalar (ra’y0 agar ditemukan solusi yang tetap sesuai dengan maksud pembuat hukum (Allah). Yynag akhirnya memunculkan metode Qiyas, Ijma’, Istihsan, Maslahah Mursalah dsb.
3.      Lahirnya mazhab-mazhab dalam hukum Islam yang mnegembangkan berbagai pondasi dan kaidah-kaidah dalam memahami dan mempraktikkan hukum Islam.
4.      Hukum Islam dipraktikkan menjadi satu-satunya hukum yang berlaku di seluruh negeri Muslim, dari Cordova di Spanyol sampai Ternate di ujung Timur Maluku.

Berlakunya hukum Islam
            Perubahan fundamental yang terjadi pada masa ini adalah perpisahan institusional otoritas keagamaan danotoritas politik. Walaupun banyak orang yang mengatakan Islam tidak mengenal sekularisme, tapi jelaslah bahwa selepas Nabi wafat para khalifah tidak langsung mendapat kekuasaan keagamaan sebesar yang dipegang Nabi. Terkecuali bahwa si khilafah mempunyai kualifikasi keulamaan, otoritas keilmuan hukum Islam beralih dari tangan politik ke tangan fuqaba’ atau para ahli hukum Islam.
            Pergesaran ini diawali pada masa-masa awal pemerintahan Abu Bakar saat beliau dinilai melampaui batas atas tindakan menabuh genderang perang terhadap suku-suku yang menolak membayar zakat. Ijtihad Abu Bakar menyatakan apa yang didapatkan Nabi juga harus ia dapatkan, termasuk zakat yang juga harus disetor ke negara yang beliau pimpin. Sementara Umar, berfikir berbeda: kewajiban khilafah adalah melindungi mereka yang sudah Muslim, menjamin keselamatan nyawa dan harta mereka, bukan malah mengambil harta mereka. Namun begitu, pada akhirnya, Umar menyetujui Abu Bakr.
            Selain masalah otoritas pasca-Nabi, riwayat itu juga menyimpan pelajaran penting tentang sejarah fiqih. Seperti, proses ‘pemapanan’ (establishment) hukum, hingga otoritas khalifah dalam berijtihad dan dipatuhi ijtihadnya adalah anomali.
Zaman Kolonial
            Sekian abad berkuasa atas diri mereka sendiri, akhirnya sebagian besar negeri umat Islam dijajah oleh kekuatan kolonial Eropa. Yang tersisa menjadi entitas politik yang merdeka hanyalah Turki dan Daulah Utsmaniyyah saja. Bukan hanya jatuh di tangan Eropa tetapi juga terpecah belah saling bermusuhan. Bahkan sering ditemui kekuatan Eropa bergabung bersama kekuatan Muslim untuk melawan kekuatan Muslim lainnya, seperti saat para pemberontak di Saudi Arabia yang menggandeng Inggris unuk melawan khilafah Turki Utsmani, khilafah terakhir.
            Sementara Turki Utmani sibuk memertahankan diri dari kekuatan Eropa, wilayah-wilayah muslim yang sejak beberapa abad sebelumnya sudah memiliki otonomi lokal juga berusaha memertahankan diri dari kolonialisme Eropa di wilayahnya. Dan dizaman kolonial, di wilayah-wilayah Islam itu muncul beberapa model yang diantaranya adalah: Model otonom, yang secara politik mereka takluk di bawah kekuasaan Eropa tetapi mereka mempunyai otonomi penuh untuk mengatur kerajaan atau kesultanan mereka. Kemudian, Model hegemonik, dimana kerajaan-kerajaan Islam dhancurkan kekuatannya dan wilayahnya diambil alih sepenuhnya oleh Eropa.
Zaman Negara-Bangsa
            Berakhirnya masa penjajahan mengembalikan satu-persatu negeri Muslim memperoleh kemerdekaan politiknya. Namun mereka lahir kembali dengan format yang berbeda, yakni nation state. Sebagian negara berbentuk kerajaan, dan sebagian lainnya republik. Yang jelas mirisnya, perjalanan sejarah tidak memberikan jalan bagi hukum Islam untuk kembali ke format pra-kolonial. 2 Faktor yang melatarbelakanginya adalah: Pertama, perubahan entitas politik. Khilafah tidak lagi dipandang sebagai bentuk yang ideal bagi entitas-entitas politik Muslim yang bahasa dan adat istiadatnya berbeda. Kedua, karena khilafah sudah berubah menjadi “negara” yang lebih “sekular”, maka menyerahkan hukum Islam kepada entitas sekular juga bukan pilihan tepat.
Beragam Format Hukum Islam
(muncul karena situasi baru yang dihadapi)
1.      Berkolaborasi sepenuhnya dengan negara bangsa di negara-negara yang secara demografis berpenduduk mayoritas Muslim. Negara mereka menjadi negara Islam dan memilih hukum Islam sebagai hukum negara, serta al-Qur’an dan Sunnah sebagai konstitusi. Contoh negaranyanya adalah Saudi Arabia dan Pakistan.
2.      Berperan di wilayah hukum keluarga. Pernikahan dan kewarisan adalah dua wilayah yang biasa diatur sepenuhnya menurut hukum Islam sementara di wilayah lain dipakai hukum nasional yang mengatur warga negara tidak berdasarkan agamanya. Banyak negara yang menerapkan format ini, diantaranya adalah Indonesia, Malaysia, Tunisia, Maroko, dan Turki
Menyusul kemudian, hukum Islam dalam hal bisnis dan keuangan mulai diterapkan. Pasar Timur Tengah dan dunia Islam pada umumnya yang menjanjikan bahkan mendorong sejumlah negara Barat untuk mengadopsi sistem perbankan syariah. Perusahaan multi-nasional bahkan turut mengadopsi asuransi syari’ah.
Fase-Fase Kehidupan Hukum Islam
Pertama, fase permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah SAW sampai wafatnya.
Kedua, fase persiapan hukum Islam, dimulai dari masa khalifah pertama sampai selesainya masa sahabat, atau dari tahun sebelas Hijriah sampai akhir-akhir abad pertama Hijriah
Ketiga, fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya imam-imam mujtahidin besar, dimulai dari awal-awal abad kedua hijriah sampai pertengahan abad keempat hijriah, jadi kurang lebih selama 250 tahun.
Keempat, fase kemunduran hukum Islam sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan, dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir-akhir abad ketiga belas hhijriah, yakni sampai lahirnya buku “Majallatul Ahkamil Adliyyah”.
Kelima, fase kebangunan, yaitu dimuali dari lahirnya buku tersebut sampai sekarang.

Sabtu, 19 Maret 2016

Hukum Islam, Syari'ah dan Fiqih (USHUL FIQIH)


Hukum Islam, Syari'ah dan Fiqih

A.    Hukum Islam

Istilah hukum Islam, di Indonesia digunakan sebagai pembeda dua hukum lainnya yaitu hukum nasional dan hukum adat. Hukum Islam dalam konteks penggunaan tersebut diartikan sebagai “semua aturan yang bersumber dari ajaran agama Islam, baik berupa teks Al-Qur’an dan As-Sunnah dan juga yang tertuang dalam kitab-kitab Fiqih”. Dimana, beberapa aspek hukum Islam tersebut beberapa sudah diadopsi secara formal sejak zaman Belanda oleh hukum nasional dan secara terbatas diberlakukan sebagai hukum positif. Contohnya adalah Hukum Islam yang terkait dengan pernikahan (UU No. 1/1974), perceraian, dan waris. Sedangkan wakaf, perbankan syariah (UU No.21/2008), zakat, asuransi dan gadai menyusul kemudian pada masa kemerdekaan.

Kata “hukum islam” berasal dari 2 kata Arab, al-hukm dan al-islam. Namun begitu Istilah al-hukm al islami tidaklah lazim digunakan dalam Bahasa Arab. Karena istilah al-ahkam ash-shar’iyyah lah yang digunakan untuk menyebut hukum-hukum agama Islam. Fakultas-fakultas hukum di Timur Tengah sendiri menggunakan istilah al-syari’ah al-islamiyyah untuk mengacu kepada makna hukum. Hanya saja, penggunaan istilah tersebut ternyata kurang tepat. Karena menurut para ahli, kata al-syari’ah mengandung makna yang lebih luas dari sekedar “hukum”. Istilah al-syari’ah al-islamiyyah sama artinya dengan “agama islam”. Istilah yang paling tepat untuk hukum-hukum Islam adalah al-fiqh atau fiqih.

Fiqh menurut bahasa berarti “pemahaman”. Al-Qur’an menggunakan kata al-fiqh dan akar katanya sebanyak 15 kali, yang kebanyakan digunakan juga dalam arti “memahami” seperti yang digunakan dalam surat An-Nisa ayat 78. Sedangkan menurut para ulama Fiqih, arti fiqh adalah “pengetahuan tentang hukum-hukum syariah tentang perbuatan mukallaf yang diambil dari dalil-dalil khusus”.

Empat kata kunci dalam definisi ini pertama adalah al-‘ilm, artinya Fiqih merupakan ilmu yang bisa dipelajari oleh semua orang. Kedua, al-ahkam al-syar’iyyah, artinya Fiqih hanya membahas soal hukum syariah, yaitu hukum yang berasal dari Asy-Syar’i (Sang pembuat hukum atau Allah). Ketiga, al-‘amaliyyah, yaitu hukum tentang “perbuatan” seseorang, bukan akidahnya dan bukan akhlaknya. Kata kunci keempat adalah al-adillah al-tafsiliyyah yang berarti “dalil-dalil khusus”, yaitu dalil khusus yang menghasilkan hukum khusus bagi perbuatan khusus. Namun, Fiqih bukan satu-satunya ilmu yang membahas ayat-ayat/dalil Al-Qur’an. Ilmu-ilmu lain seperti Tafsir, juga membahas ayat-ayat. Bedanya Fiqih membahas satu atau dua dalil khusus sedangkan Ilmu Tafsir yang membahas secara keseluruhan.


Pembahasan Fiqih terfokus pada masing-masing dalil dan menghasilkan tiga hukum syariah mengenai tiga perbuatan mukallaf, yaitu:
1.      Surat Al-Baqarah 178: menunjukkan hukum wajib qisas dalam perbuatan pembunuhan;
2.      Surat Al-Baqarah 180: menunjukkan hukum wajib berwasiat bagi orang yang meninggalkan harta; dan
3.      Surat al-Baqarah 183: menunjukkan hukum wajib berpuasa.


B.     Fiqh, Ushul Fiqh, Syariah

Fiqh berbeda dengan Ushul Fiqh. Ushul Fiqh membahas ketiga dalil tersebut diatas secara bersama-sama. Istilah Ush ul al-Fiqh terdiri dari dua kata: ushul yang berasal kata al-asl artinya ma buniya ‘alaihi, pondasi atau dasar; menjadi makna yang pas penggunaannya secara terminologis karena ilmu ushul fiqh adalah pondasi fiqih.

Karakter Fiqih
(
Menurut Muhammad Yusuf Musa)
1.      Bersumber dari Allah
2.      Berlandaskan iman dan akhlak
3.      Pahala dan sanksinya bersifat duniawi dan ukhrawi
4.      Berkecenderungan sosial
5.      Terbuka kepada perubahan
6.      Bertujuan menata kehidupan pribadi dan masyarakat.

Fiqih tidak berjalan sendiri dalam mengatur kehidupan manusia; ia disertai dengan dua hal penting lain yaitu iman dan akhlak; yang menjadi pengendali internal manusia. Fiqih bersumber dari Allah, karenanya orang yang tunduk kepada hukum Fiqih akan memeroleh pahala dunia dan akhirat sekaligus.

Fiqih bersifat “ijtihadi”, sehingga sangat adaptif terhadap perubahan. Dengan bersumber dari Allah, Fiqih, sama halnya dengan agama Islam, ditunjukkan untuk menata kehidupan manusia, menjadi rahmat (kasih) bagi alam. Sehingga bukanlah Fiqih jika praktik hukumnya tidak mewujudkan kasih bagi alam, atau diskriminatif dan menimbulkan konflik.

Pembagian Bidang Fiqih
 (Klasifikasi dari Al-Ustadz Muhammad Amin/Ibnu ‘Abidin, dari Mazhab Hanafi)

1.      Al-‘Ibadat        : Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan Jihad
2.      Al-Mu’amalat  : Barter barang, Amanat, Pernikahan, Perselisihan dan Warisan
3.      Al-‘Uqubat       : Qisas, pencurian, Zina, Qadzf dan Murtad

(Klasifikasi para pengikut al-Syafi’i)
1.      Al-‘Ibadat
2.      Al-Mu’amalat
3.      Al-Nikah
4.      Al-Uqubat.
Ringkasan dari pembagian tersebut adalah:  Al-‘Ibadat dan Al-Mu’amalat.

Materi Bahasan Kitab Fiqih
            Diantara al-‘Ibadat dan al-mu’amalat kitan-kitab fiqih biasanya mendahulukan materi al’’ibadat sebelum al-mu’amalat. Pembahasan Fiqih terus berkembang menjamah wilayah-wilayah baru guna menjawab tantangan zamannya.

Senin, 07 Maret 2016

MALAM 1 SURO DI CEPURI PARANGKUSUMO DAN INDIKASI SYIRIK DI DALAMNYA



Cepuri Parangkusumo, Yogyakarta

           Malam Satu Muharram atau yang akrab disebut Malam Satu Suro oleh masyarakat jawa memang merupakan salah satu yang paling menarik dan dianggap sakral oleh sebagian masyarakat di tanah jawa. Karena pada malam ini akan sangat mudah dijumpai sesuatu yang berbau mistis. Pada Malam Satu Suro tempat-tempat yang dikeramatkan oleh warga akan menjadi berkali-kali lipat lebih ramai dari biasanya oleh para peziarah dengan motif yang bermacam-macam.

            Pada Malam Satu Suro kali ini, 13 Oktober 2015, saya dan beberapa teman tertarik untuk mengunjungi salah satu tempat yang sudah termasyur di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Pantai Parangkusumo. Masyarakat Yogyakarta memanfaatkan Malam satu suro unuk menggelar sebuah ritual bernama labuhan sesajian di Pantai yang berada sekitar 200 kilometer dari komplek Cepuri ini.

Komplek Cepuri memiliki batu yang sering digunakan untuk menggelar ritual yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat bertemunya Panembahan Senopati/Danang Sutawijaya yang merupakan raja mataram pertama dengan Kanjeng Ratu Kidul. Area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan tersebut dinamai  Cepuri Parang Kusumo. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk. Menurut cerita yang beredar di masyarakat Yogyakarta, konon, dahulu sebelum Panembahan Senopati menjadi raja, beliau pergi ke Pantai Parangkusumo dan duduk di sebuah batu untuk bertapa, hingga Kanjeng Ratu Kidul muncul dan duduk pada sebuah batu yang lebih kecil di depannya. Setelah itu Panembahan Senopati megutarakan permintaannya untuk  memerintah Mataram dan juga meminta kepada Kanjeng Ratu Kidul untuk melindungi dia dan keluarganya. Kanjeng Ratu Kidul yang jatuh cinta kepada Panembahan Senopati pun menyetujui dengan syarat Panembahan Senopati mau menikahinya. Dan Panembahan Senopati pun menyetujuinya dengan juga mengajukan syarat agar pernikahan tersebut tidak menghasilkan keturunan. Itulah mengapa pantai ini juga sering di sebut-sebut sebagai ‘pantai cinta’. Hingga akhirnya, Panembahan Senopati pun benar-benar menjadi Raja Mataram pertama. Cerita inilah yang diduga kuat melatarbelakangi banyak orang yang berkunjung pada hari-hari tertentu, terutama Malam Satu Suro untuk memanjatkan do’a dan berharap Doanya terkabul seperti Panembahan Senopati.

Sejak pukul 19:30 waktu setempat ratusan warga telah memenuhi kawasan Cepuri. Tidak hanya masyarakat wilayah Yogyakarta, masyarakat dari berbagai daerah diluar Jawa pun turut antusias berpartisipasi dalam acara tahunan ini. Saya bahkan bertemu dengan salah seorang pengunjung dari Pontianak, Kalimantan Timur yang mengaku ini adalah kali kedua ia berkunjung ke Pantai Parang Kusumo di malam satu suro. Saya juga bertemu seorang pengunjung bernama Sumarjan, dari Klaten, Jawa Tengah yang mengaku selalu melakukan ritual di Cepuri dan melabuh sesajian di Pantai Parangkusumo ini. Menurutnya, ritual malam satu Suro yang telah dilakukan secara turun temurun mempunyai fungsi agar di kehidupan mendatang dijauhkan dari berbagai bencana, sakit dan diberikan kelancaran dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
 "Ya kita berdoa agar ada kelancaran dalam hidup mendatang," ungkapnya.

Menurut penuturan narasumber yang saya wawancarai, tidak hanya pada Malam Satu Suro, Cepuri Parangkusumo juga akan ramai pengunjung setiap malam selasa kliwon dan jum’at kliwon. Karena menurut kepercayaan orang jawa pada hari-hari itu adalah hari yang keramat atau mempunyai energi yang kuat. Maka mereka percaya, bahwa hari-hari tersebut cocok dan tepat untuk melakukan ritual labuhan.

Saat saya menanyai apa tujuan mengunjungi Cepuri Parangkusumo. Sebagian besar dari mereka menjawab dengan susunan kalimat yang agak berbeda namun memiliki makna yang sama yaitu: ‘berdo’a agar dalam kehidupan diberikan kelancaran, rejeki, kesehatan dan dijauhkan dari hal-hal yang buruk yang mungkin saja akan menimpa mereka di tahun mendatang.

Bambang Legowo selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemkab Bantul, menyatakan kunjungan wisata ke pantai Parangtritis-Parangkusumo saat malam Suro tahun 2015 ini tidak seramai tahun 2014 silam. Gencarnya syiar agama belakangan ini ditengarai turut memicu penurunan jumlah wisatawan.

Saya pribadi jujur saja menarik satu nafas lega saat mengetahui informasi ini, terbesit senyum syukur atas kenyataan yang saya dapati tersebut. Bagaimana tidak, itu artinya ada kemungkinan masyarakat—dalam hal ini umat Islam, yang sudah mulai mengetahui apa yang seharusnya mereka jauhi dan tidak mereka lakukan.

Sudah sejak lama, saya yang notebene seorang Muslimah sejak lahir, merasa risih akan hal-hal berbau kesyirikan yang dibumbui oleh embel-embel budaya agar terselubung dan memeluk masyarakat luas. Namun tetap saja, sepasang mata saya masih bisa menangkap dengan jelas mengenai masih sangat banyak mereka yang mengaku beragama Islam tapi masih melakukan ritual di Cepuri Parangkusumo. Hal ini tentu saja membuat saya merasa miris akan keadaan umat yang tidak lain adalah saudara saya sendiri, sebagai sesama muslim. Saya sadar tidak ada hak untuk men-judge bahwa orang ini salah dan orang ini benar, hanya saja pemahaman saya sejauh ini memberikan respon yang negatif kepada umat Islam yang seolah menggantungkan diri kepada selain Rabb-Nya, Allah Subhanahu Wata’ala. Kelemahan iman dan kemalasanlah yang lagi-lagi menjadi faktor utama mereka melakukan hal-hal seperti itu. Mereka cenderung memilih jalan pintas daripada harus kerja keras.

Selain itu, dampak dari alasan ataupun motif mereka melakukan ritual di Cepuri dan sejenenisnya sebagian besar menjurus kepada hal-hal yang dapat mengotori aqidah seperti: bertawakal bukan kepada Allah (Q.S. Al-Maidah (5) ayat 23) , tidak mengakui karunia Allah (Q.S. Luqman (31) ayat 20), beramal kepada selain Allah (Q.S. Al-An’am (6) ayat 162-163), ta’at secara mutlak kepada selain Allah dan Rasul-Nya Q.S. Al-Maidah (5) ayat 23 . Dan yang lebih parah dari kotornya aqidah mereka adalah kesyirikan yang bisa membinasakan mereka. Seperti Menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah disamping berdo’a kepada Allah.

Firman Allah dalam Al-Qur’an yang menjelaskan ruginya orang yang melakukan kesyirikan:

a) QS Luqman (31):13
Artinya: “Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

b) QS Al-Maidah (5):72
Artinya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”

c) QS Al-An’am (6):88
Artinya: “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” 

            d) QS Az-Zumar (39):65
Artinya: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”

e). QS At-Taubah (9):5
Artinya: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.”

Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa, serta menjadi bagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia dengan status mayoritas muslimnya, yang dapat menyikapi segala sesuatu dengan baik dan benar, yang dapat memfilter mana adat dan budaya yang harus dilestarikan dan mana yang cukup di jadikan sejarah dan pelajaran saja.
 Wallahu A'lam Bishawab.....