Minggu, 22 Mei 2016

ISLAM SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN UMAT


Islam Sebagai Solusi Permasalahan Umat

            Konflik-konflik keagamaan yang kian marak dihadapi, mau tak mau mendorong umat untuk mencari solusi ampuh dalam  mengatasi seluruh ketidaknyamanan tersebut. Sebagai sebuah agama, Islam memiliki karakteristik, watak dasar, visi, dan misi yang secara total mengajarkan komprehensif-integralistik mengenai perlunya umat muslim untuk selalu menyebarkan keselamatan, menciptakan kesejahteraan, membentuk kedamaian, serta menegakkan perdamaian dalam segala aspek kehidupan manusia di dunia ini. Islam adalah agama yang di dalamnya dimuat seperangkat tatanan ajaran dan sitema norma Ilahi, Allah turunkan untuk membawa misi yang mulia dan luhur dengan tujuan utama untuk mewujudkan salam (keselamatan) dan kedamaian di antara para manusia. Hal tersebut Allah secara gamblang menegaskan dalam al-Qur’an Surah al-Anbiya ayat 107 saat mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa dan pendakwah agama Islam:
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.
           
               Kedatangan Muhammad Sallallaahu ‘Alaihi Wassalaam yang tidak lain adalah sebagai rasul yang membawa agama Islam merupakan rahmat bagi manusia bahkan bagi makhluk sekalian alam. Islam bukanlah ‘laknat’ dan ancaman kekerasan melainkan identik dengan rahmat kesejukan, rahmat keselamatan, rahmat kedamaian, rahmat perdamaian. Dalam praktik kesehariannya, Islam telah mewajibkan penganutnya untuk mengucapkan salam perdamaian (assalaamu’alaykum wa rahmatullaahi wa barakaatuh; semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Allah selalu tercurah kepada Allah) saat berjumpa dan mengucapkan salam setelah melaksanakan shalat sembari menoleh ke kanan dan kiri. Hal itu dapat dilihat sebagai simbol dan ajaran bahwa Islam dan seluruh umatnya harus selalu menyemai dan menabur kedamaian dan keselamatan. Sehingga dapat ditegaskan bahwasanya segala bentuk terorisme, brutalisme, anarkisme, keberingasan, perusakan, dan kekesarasan yang dilakukan sekelompok muslim fundamentalis-radikalis yang mengatasnamakan Islam sesungguhnya amat bertentangan dengan watak dasar, visi dan misi damai Islam itu sendiri. 

            Berbicara prinsip, Islam merupakan agama yang menuntun para pemeluknya di mana pun kapan pun untuk menerapkan toleransi, menegakkan kerukunan, menciptakan harmoni, dan mewujudkan perdamaian baik kepada muslim lainnya maupun kepada non-muslim. Namun demikian, Allah mengizinkan umat Islam untuk membela, mempertahankan diri bahkan memerangi umat lain yang melakukan serangan, agresi, dan invasi hingga menjadi musuh yang bertujuan untuk merebut kebebasan, membunuh dan merampas hak-hak muslim. Hal ini terekam dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 190 yang berarti:
Perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas (memulai permusuhan dan melanggar perikemanusiaan) karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

            Berangkat dari firman Allah di atas, umat Islam yang melakukan perlawanan dan peperangan untuk membela dan mempertahankan diri, tiada diperbolehkan hingga melampaui batas. Maksudnya, perang yang dilakukan oleh umat Islam tersebut hanyalah sebagai perimbangan serta pembelaan diri tidak perlu berlebih-lebihan dan mempraktikan sesuatu yang melampaui batas. Dalam hal ini, ayat tersebut juga mengajarkan ‘etika’ berperang, yakni sasaran perang jangan sampai melampaui batas, mengenai rakyat sipil (seperti anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua jompo), harta benda, dan fasilitas umum (rumah ibadah, rumah sakit, atau sekolah) yang harus dihormati dan dilindungi dari serangan. 

            Dan berbicara khusus mengenai hal hubungan antarumat beragama, apabila kita mengacu pada al-Qur’an surat al-Kafirun ayat 6 “lakum dinukum waliyadin” yang berarti bagimu agamamu dan bagiku agamaku, sangatlah jelas bahwa Islam mempersilakan orang lain untuk menganut agama selain Islam.Islam bahkan sangat melarang penganutnya untuk mengganggu, mengusik, atau mencela seseorang atau sekelompok orang yang beragama non-Islam. Yang ada, sejatinya umat Islam itu mengakui ‘keberadaan’ ––bukan ‘kebenaran’ agama lain dengan berdasarkan prinsip kebebasan beragama dan sikap toleran terhadap komunitas-komunitas agama non-Islam.







DAFPUS:
Ismail, Faisal. 2014. Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama. Bandung: Remaja  Rosdakarya.

Tumbuh Bersama Allah




Tumbuh bersama Allah.
Bersama Allah aku tumbuh.
Tumbuh dari keluarga biasa, hidupku selama 17 tahun ini kulalui bersama-Nya.
 
Tumbuh Bersama Allah
Berbicara soal keagamaan, sejak kecil kedua orangtuaku sudah tentu menjadi madrasah pertama yang tak kenal henti membimbing dan menuntunku untuk melangkahkan kaki hanya pada jalan-Nya. Setiap sore aku mengaji di sebuah surau yang bisa dikatakan tidak dekat dari rumahku. Bersama teman-teman yang bersemangat, rasa lelah hampir tak pernah menyusup masuk didiriku saat itu. Kami berbaur, bersila dan dengan ceria mengikuti apa saja yang diisyaratkan oleh sang ustadz. Nakal adalah wajar pada usia kami, namun bersama-Nya kami membaca, kami menghafal dan kami memeluk mushaf Al-Qur’an tercinta. Hanyut dalam sujud suci yang mungkin belum kami resapi sepenuhnya, hingga malam pada akhirnya mengizinkan kami kembali kepada sosok-sosok luar biasa yang sedang menunggu dirumah.
            
             Hari demi hari kulalui. Jilbab kulepaskan. Saat hendak mengaji aku memakainya lagi. Aku belajar di sekolah seperti halnya anak-anak lain. Dan bersama-Nya, tak begitu sulit bagiku mendapatkan sebuah gelar ‘rangking’ atau ‘bintang kelas’. Aku tak berfikir banyak, yang kutahu hanya bagaimana agar aku bisa melihat kedua orang tua dan adikku tersenyum bangga menyambutku dengan segulungan buku yang dibalut sampul tipis berwarna coklat yang kugenggam, lalu memelukku, sungguh cukup dengan itu aku saja akan merasa luar biasa senang. 6 tahun duduk dibangku sekolah dasar, aku pun diluluskan. Hingga sebuah hari baru datang.

            Tak seperti biasanya, pagi ini aku mengenakannya, jilbab. ‘Pondok Pesantren Terpadu Ushulludin’, sepasang mataku antusias menatap tulisan itu. Aku berada disini sekarang. Berbaur bersama banyak warna dari seluruh penjuru Lampung hingga beberapa bagian Sumatera lainnya, aku menjadi Santri. Mengenakan jilbab setiap saat, 2 kali bersekolah, mengaji, belajar setiap malam, sholat malam, puasa, berangkat sekolah atau sholat tepat waktu karena dihitung oleh Mudabbiroh, berbahasa Arab dan Inggris, menghafal mufrodat, bekerja bakti, hingga berbaris untuk mendapatkan makan adalah rutinitas baruku saat itu. 

Aku nyaman, Sungguh. Jilbab itu melindungiku. Rasanya sama sejak kecil, tak pernah berkurang kenyamananku saat memakainya. Hari demi hari, bulan demi bulan aku lalui sudah di Pondok Pesantren di Lampung Selatan ini, terpisah jauh dari orang tua dan dijenguk setiap 4 bulan sekali karena jauhnya jarak, membuatku terlatih untuk mandiri dan tegar. Dengan dibekali uang 5000 rupiah perminggunya--permintaanku sendiri-- aku belajar berhemat, tidak manja dan akhirnya berinisiatif untuk mendapatkan uang dengan usahaku sendiri. Aku selalu mencatat apa saja yang Mudir sampaikan saat upacara atau kegiatan di masjid, sehingga saat setiap minggunya seluruh santri berkumpul, aku sering maju menjawab pertanyaan dari Mudir yang mana dihadiahkan uang 10.000 rupiah, tidak hanya itu, hobi menggambarku ternyata dilirik oleh teman-teman asrama, banyak dari mereka yang merequest untuk digambari sesuatu, saat sudah jadi mereka memberiku uang, coklat, snack atau Ice Cream. Sungguh menyenangkan, Allah memudahkanku berkali-kali. 

Hingga sebuah masalah mengujiku dan keluarga. Sudah hampir 1 tahun aku di Pesantren, sesuatu seolah menarikku untuk keluar dari Ma’had hijau tercinta. Terlalu pelik hingga aku tak bisa menguraikannya dalam tulisan ini. Pihak pesantren yang mendengar berita soalku yang hendak keluar rupanya menerka-nerka, hingga mengadakan rapat yang khusus membicarakan tentangku. Ustadz Saiful selaku wali kelasku berkata bahwa aku dibebaskan dari biaya pokok Pesantren jika tetap bertahan. Ku hembuskan nafas berat, bagaimanapun keadaan lebih kuat menarikku untuk keluar, bukan sekedar soal ekonomi, lebih dari itu. 

Aku pun pada akhirnya benar-benar keluar dari menjadi santri dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Rajabasa sekaligus pindah rumah dari kabupaten Tulang Bawang ke Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.  Allah, aku tahu Engkau bersamaku. Selalu.

Di SMP sangatlah berbeda. Jilbab adalah pemandangan asing unuk sepasang mataku. Bisa dihitung berapa banyak siswi yang mengenakannya. Di bawah 9 bahkan. Namun aku tak mengapa, lagi pula seluruh pihak menyambutku dengan baik. Banyak teman-teman yang menyenangkan disini, aku suka bersahabat dengan mereka yang ceria dan apa adanya. Kami belajar bersama. Keindahan alam di lingkungan baruku memberi aura positif. Pegunungan, laut, sumber mata air, pulau-pulau, udara yang segar, jalan yang bagus, MasyaAllah sungguh bersyukur aku terhadap-Nya. 

Alhamdulillah ujian semester selesai dan aku mendapat juara umum 1. Tidak menyangka karena aku anak baru di sekolah ini. Aku bersyukur berkali-kali dan tersenyum lebih lebar saat melihat ayahku yang juga tengah tersenyum. Menduduki kelas 8, aku mulai berorganisasi. Aku tertarik untuk menjadi bagian di 3 organisasi, salah satunya Rohani Islam (ROHIS). Setiap hari kamis kami melingkar, mengaji al-Qur’an dan mengkaji apa saja seputar Islam, ini adalah ‘Liqo’/Halaqah’ begitulah kata Murabbiku. Hingga aku bahkan tak pernah menyebut nama ROHIS saat izin ke orang tua, aku meminta izin mereka untuk Liqo’ dan Alhamdulillah mereka selalu mengizinkan. Namun, perlahan lingkaran itu mengecil diameternya, aku menatap nanar punggung-punggung mereka yang memisahkan diri, sementara Liqo’ baru berjalan beberapa kali. Sudah kuingatkan, namun kata ‘sibuk’ sukses mengalahkan. Hingga Liqo’ kami pun mati sungguhan. Kehidupan SMP berlalu dengan menyisakan banyak kenangan. Menyenangkan, lucu, menyedihkan dan banyak sekali hal-hal lain yang akan selalu kurindukan. 

Melanjutkan misi menuntut ilmu, urutan ke 107 aku  diterima di SMA Negeri 1, SMA unggulan yang banyak dituju, SMA Negeri 1 Kalianda rumah ilmuku selanjutnya. Berbeda, sungguh. Aku bertemu banyak orang-orang tangguh. Berbaur bersama anak-anak pejabat daerah dengan kemampuan akademik yang luar biasa. Lalu, aku bisa apa?. Hari itu MOS terakhir, seluruh organisasi sibuk mempromosikan keunggulannya masing-masing. Namun ada 1 yang membuatku tertarik, mereka berbeda dari yang lain. Penampilan, cara bersikap, penyampaian dan kejutan lain yang diberikan membuatku langsung menjatuhkan pilihan. Disini aku seharusnya. 'ROMANSA' (Rohis SMAN 1 Kalianda), itulah nama mereka, yang dengan melihatnya saja bisa menyejukkan hati dan mata.

Beberapa waktu kemudian, aku berhasil memetik hasil. Aku berada bersama mereka yang istimewa. Anak masjid katanya, tukang ngaji, marbot, jilbab gede, sok suci, aktivis, teroris. NO!. Berat ternyata, serius!. Ada sekian newton amanah yang harus kami pikul sementara banyak dari mereka memandang sebelah mata. Kami di fitnah oleh media, tv berita. Kami yang benci anarkis di lebeli teroris. Allah, kuatkan.
Beberapa waktu berlalu, kian banyak yang menggerutu, internal kami tak lagi satu. Banyak yang memilih keluar karena berbagai alasan dan ulasan. Aku paksa diri untuk mengerti mencoba memahami, hidup adalah pilihan. Tapi sering terbesit di benakku, tahukah mereka?, aku bahkan sering diingati ayahku untuk keluar dari ROHIS, seperti yang kuduga ayahku pun menjadi korban media. Karena rasa sayanganya, dia mengkhawatirkanku bakal terjerat sesuatu yang aneh-aneh, jadi teroris, atau jadi kader politik partai pendiri ROHIS, dll, terlebih karena aku yang sering pulang terlambat dibandingkan siswa lain yang tak berorganisasi. Aku tersenyum dan mencoba menjelaskan. Dampaknya didiamkan bahkan pernah, dan beberapa tanggapan lain yang sejatinya tiada pernah kuharapkan. Sungguh tidak nyaman rasanya, tapi, yah, akan kubuktikan ketidakbenaran seluruh anggapan. Semoga jalan yang aku pilih menjadikanku sebagai manusia yang terpilih, oleh-Nya yang Maha kasih.

ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ø¥ِÙ†ْ تَÙ†ْصُرُوا اللَّÙ‡َ ÙŠَÙ†ْصُرْÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙŠُØ«َبِّتْ Ø£َÙ‚ْدَامَÙƒُÙ…ْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad: 7). Itu adalah satu dari banyak motivasi kami. Kami mencoba peduli dan membuka mata hati, bahwa dahwah harus terus berjalan. Kami mulai dari berdakwah lingkungan dalam dan melibatkan seluruh lapisan muslim sekolah dengan agenda-agenda mingguan sampai bulanan seperti dakwah diatas kertas (daktas), Bina Baca Qur’an (BBQ), Keputrian, Latihan khutbah Jum’at, Rihlah, dll. Hingga sayap kami lebarkan.
Aku bersama ROHIS angkatanku bergabung di FOSAR (Forum Silaturrahmi Antar Rohis) Lampung Selatan. Drai sana, aku menemukan banyak istilah, dari satu yang sudah pernah kudengar sebelumnya hingga beberapa yang baru pertamakalinya terdengar olehku. Istilah tersebut seperti Liqo’, Taskif, Mabit, ODOJ dan lain-lain.

Liqo’ sudah rutin kujalani. Setiap seminggu sekali, kami mengaji, mendapat pengetahuan keislaman baru, menyetorkan hafalan al-Qur’an dan mutaba’ah mingguan, mendapat iqob, hihii. Hingga suatu hari, kami sampai pada suatu materi, tentang wanita. Ya, materi tentang wanita yang membuatku merasa tertohok. Kutengok jilbabku. Dan Bismillah, aku menatap gerbang hijrah.

Aku masih mengingatnya. Jelas. Qs. An-Nur : 31, dan Qs. Al-Ahzab : 59 tentang perintah Allah untuk berhijab syar’i. Kerudung menutup dada tidak transparan, menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, tidak berpaian ketat dan tidak tabarruj. Dan Bismillah, aku berhijrah. Perlahan kurubah penampilanku dengan cara yang aku bisa. Lantas bagaimana dengan tanggapan sekitar?. Jawabannya mayoritas kontra!. Bahkan ketika hendak menggunakan kaus kaki saat ke warung, aku dikira sedang sakit oleh Ibuku. Tapi aku bersyukur ibuku pada akhirnya membebaskan dan malah mendukung setelah kujelaskan. Namun sejak itu, setiap memandang Ibu, aku merasa ada tugas penting yang belum ku tunaikan. Ibuku tersayang, masih belum menggunakan hijab.  

Silih berganti hari, silih berganti alam terus berubah. Makin banyak teman-temanku yang mengulurkan jilbabnya. Sementara itu, aku terus tumbuh dengan nyaman bersama pakaian longgar yang seakan menjadi benteng. Entah mengapa, selalu malu ketika hendak melakukan hal negatif. Malu dengan jilbabku, lebih malu lagi pada Allah yang selalu menyertaiku. Jilbab yang membuatku dikatakan seperti ibu-ibu oleh saudaraku itu melindungiku dari berbuat berlebihan, melindungiku dari keusilan laki-laki, membuatku merasa dihormati daripada diminati, nyaman sekali dan membimbingku untuk terus memeriksa ruhiyah, memperbaiki yang salah dan mensyiarkan agama Allah dengan jalan yang indah. Bismillah, aku akan berubah. Jangan jadi mudah marah, jangan mudah gelisah, jangan berkeluh kesah, orang tua jangan dibantah, menjauhkan diri dari fitnah meski cinta adalah fitrah serta terus berupaya untuk pantang menyerah. 

Tahun terakhir di SMA, Alhamdulillah azamku tercapai. Ibuku sudah berjilbab. Dan pandangan ayahku yang semula negatif terhadap organisasiku terbarter dengan pandangan positif. Keluarga kecilku mendukungku. Masa SMA yang luar biasa kutinggalkan dengan senyum berjuta makna. Allah, terimakasih.

Terus tumbuh bersama Allah.
Membuka lembaran baru bersama Allah.
Hingga saat ini aku duduk di bangku kuliah. Alhamdulillah.
Selalu berharap menjadi pribadi yang lebih baik setiap waktunya. Dengan menjadi diri sendiri, aku ingin berdakwah. Mensyiarkan hal-hal baik. Dengan media semoga menjadi lebih efektif. Meluruskan niat, menuntut ilmu, menjadi berguna untuk keluarga dan sesama, menjadi muslimah sholehah yang tidak lemah, menjadi calon ibu yang bermutu, dan menjadi manusia biasa yang dirindukan syurga, semoga semuanya lancar terlaksana. Aamiin
Bismillahirrahmanirrahim. Bersama engkau ya Allah, saksikanlah aku dan sekian perjuangan. Aku ingin terus berpijak di jalan-Mu. Tumbuh bersama-Mu.






Senin, 09 Mei 2016

DALIL-DALIL AQLI




Dalil-Dalil Aqli


            Hukum Islam selain ditentukan menggunakan dua dalil yang bersifat tertulis, juga bisa menggunakan dalil rasional. Penggunaan akal dalam merumuskan hukum Islam sudah diberlakukan sejak zaman Nabi, hal ini karena Rasulullah sendiri menginsyafi bila seseorang jauh dari beliau dan tidak ada media untuk berkomunikasi, maka penggunaan akal merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. Beliau bahkan mendukung dan membenarkan jawaban Mu’adz b. Jabal berikut: “saya akan berpikir keras untuk memutuskan perkara yang tidak ada ketentuannya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah”. 

Ada dua macam metode rasional yang sudah disepakati sebagai dalil oleh para ulama. Kedua macam metode tersebut adalah: Ijma’ dan Qiyas.


IJMA’

Secara bahasa Ijma’ berarti Niat yang kuat dan Kesepakatan. Sedangkan secara istilah, Ijma’ merupakan “Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar’i”.
·         Dikatakan ‘Kesepakatan’, maka adanya khilaf meski dari satu orang, tidak bisa dikatakan sebagai ijma’.
·         Dikatakan ‘Para mujtahid’, maka kesepakatan orang awam dan orang yang bertaqlid tidaklah dianggap dan tidak diakui.
·         Dikatakan ‘Ummat Ini’, maka ijma’ selain mereka (ummat Islam) tidak dianggap dan tidak diakui.
·         Dikatakan ‘Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam’, maka kesepakatan mereka pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tidak dianngap sebagai ijma’ dari segi keberadaanya sebagai dalil, dikarenakan dalil dihasilkan dari sunnah Rasululillah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam baik dari perkataan, perbuatan atau taqrir, karenanya bila seorang sahabat berkata: “Dahulu kami melakukan”, atau “Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam”, maka hal tersebut tidak termasuk kedalam ijma’ dan marfu’ secara hukum.
·         Dikatakan ‘Terhadap hukum syar’i’, maka kesepakatan mereka dalam hukum akal atau kebiasaan, tidak termasuk Ijma’.
Ijma’ merupakan hujjah. Hal ini terekam dalam dalil-dalil yang diantaranya yaitu: QS. Al-Baqarah ayat 143 dan QS. An-Nisa’ ayat 59.


Macam-Macam Ijma’:

1.      Ijma’ Qath’i
Merupakan ijma’ yang diketahui dengan pasti keberadaannya di kalangan umat Islam. Contohnya ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Tidak ada seorang pun yang mengingkari keberadaan ijma’ jenis ini sebagai hujjah, bahkan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2.      Ijma’ Zanni
Merupakan ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan tatabbu’ dan istiqro’ (dicari dan dipelajari). Para ulama telah berselisih mengenai kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini.


Syarat-Syarat Ijma’

            Syarat-syarat ijma’ diataranya sebagai berikut:

1.       Tetap melalui jalan yang shahih, yakni dengan kemasyhurannya dikalangan ‘ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.

2.      Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, bila didahului oleh hal tersebut maka bukan ijma’ karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.




QIYAS

            Secara bahasa Qiyas berarti ‘Pengukuhan dan Penyamaan’. Sedangkan secara Istilah Qiyas adalah ‘Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya”.

            Empat rukun Qiyas:
·         Cabang: yang diqiyaskan
·         Pokok: yang diqiyaskan kepadanya
·         Hukum: apa yang menjadi konsekuensi dalil syar’i dari yang wajib atau haram, sah atau rusak, atau yang selainnya.
·         Sebab/illah: sebuah makna dimana hukum ashl ditetapkan dengan sebab tersebut.

Dan Qiyas merupakan salah satu dalil yang hukum-hukum syar’i ditetapkan dengannya (QS. Asy-Syuuro: 17 dan QS. Fathir: 9). 
Diantara dalil-dali sunnah:

1.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam kepada seorang wanita yang bertanya kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal: “Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang lalu kamu membayarnya? Apakah hutang tersebut tertunaikan untuknya?” Dia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Maka perpuasalah untuk ibumu.” (HR. Bukhori)

2.      Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lalu ia berkata: Wahai Rasulullah! Telah dilahirkan untukku seorang anak laki-laki yang berkulit hitam.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam berkata: “Apakah kamu memiliki unta?” Ia menjawab: “Ya”, Nabi berkata: “Apa saja warnanya?” Ia menjawab: “Merah,”, Nabi berkata: “Apakah ada yang berwarna keabu-abuan” Ia menjawab: “Ya”, Nabi berkata: “Mengapa demikian?” Ia menjawab: “Mungkin uratnya ada yang salah” Nabi berkata “Mungkin juga anakmu ini ada kesalahan urat”. (HR. Bukhori)

Itulah seluruh contoh yang terdapat di kitab dan sunnah sebagai dalil atas kebenaran qiyas karena di dalamnya ada penganggapan sesuatu sama dengan yang semisalnya.

Dalil dari perkataan sahabat diantaranya: Apa yang datang dari Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khoththob ydalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari dalam pemutusan hukum, ia berkata: “Kemudian fahamilah, fahamilah terhadap apa yang diajukan kepadamu, kepada apa yang datang padamu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara yang terjadi padamu tersebut dn ketahuilah persamaan-persamaannya, kemudian sandarkanlah pendapatmu itu kepada apa yang paling dicintai Allah dan palin menyerupai kebenaran.”

Al-Muzani meriwayatkan bahwasanya ahli fiqih sejak zaman sahabat sampai zaman beliau telah bersepakat bahwa penyamaan dengan yang benar adalah benar dan penyamaan dengan yang bathil adalah bathil, dan mereka menggunakan qiyas-qiyas dalam fiqih dalam seluruh hukum-hukum.

Syarat-Syarat Qiyas

Syarat-syarat yang dimiliki Qiyas diantaranya adalah:

1.      Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak dianggap Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’ atau perkataan sahabat jika kita mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan qiyas yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai anggapan yang rusak.

Misal: dikatakan bahwa wanita rosyidah (baliqh, berakal, dan bisa mengurus diri sendiri) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
Itu adalah qiyas yang rusak sebab menyelisihi nash, yaitu “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” sebagai sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.

2.      Hukum ashlu-nya tetap dengan nash atau ijma’.

Misal: dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, dan berlaku pada beras diqiyqaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini tidak benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan dengan gandum, supaya diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.

3.      Pada hukum ashl terdapat ‘illah (sebab) yang diketahui, supaya memungkinkan untuk dijama’ antara ashl dan cabang padanya. Bila hukum ashl-nya adalah perkara yang murni ta’abbudi (peribadatan yang tidak diketahui ‘illah-nya), maka tidak sah mengqiyaskan kepadanya.

Misal: Daging burung unta dikatakan dapat membatalkan wudhu diqiyaskan dengan daging unta karena kesamaan ‘burung unta’ dengan ‘unta’, maka qiyas seperti ini disebut tidak benar sebab hukum ashl-nya tidak memiliki ‘illah yang diketahui, namun perihal ini adalah murni ta’abbudi berdasarkan pendapat yang masyhur (yakni dalam madzhab al-Imam Ahmad rohimahullaoh).

4.       ‘Illah-nya mengandung makna yang sama dengan hukumnya, dimana penetapan ‘illah tersebut diketahui dengan kaidah-kaidah syar’i, contohnya ‘illah memabukkan pada khomer. Bila maknanya adalah sifat yang paten yang tiada kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah menentukan ‘illah dengannya, seperti hitam dan putih.

Misal: Hadits Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma: bahwa Bariroh diberi pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata: “suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit hitam”.
“hitam” yang beliau katakan adalah sifat yang tetap yang tidak ada hubungannya dengan hukum, karenanya berlaku hukum memilih bagi seorang budak wanita jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang budak meskipun suaminya berkulit putih, dan hukum tersebut tak berlaku bila ia dimerdekakan dalam keadaan mempunya suami seorang yang merdeka meskipun suaminya itu berkulit hitam.

5.       ‘illah tersebut ada pada cabang sebagaimana ‘illah tersebut juga ada dalam ashl, contohnya menyakiti orang tua dengan memukul diqiyaskan dengan mengatakan “uf”/”ah”. Bila ‘illah (pada ashl) tidak terdapat pada cabangnya maka tidaklah sah qiyas tersebut.

Misal: ‘Illah dikatakan dalam pengharaman riba pada gandum adalah karena ia ditakar, lalu dikatakan berlaku riba pada apel dengan diqiyaskan pada gandum, maka tidak benar qiyas seperti ini, sebab ‘illah (pada ashl-nya) tidak terdapat pada cabangnya, yaitu tidak ditakarnya sebuah apel.



Jenis-Jenis Qiyas

1.      Qiyas Jali (jelas)

Merupakan qiyas yang tetap ‘illahnya dengan nash atau ijma’ atau dipastikan dengan
menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya.

Yang ‘illah-nya tetap dengan nash, misal: Mengqiyaskan tentang larangan istijmar (bersuci dnegan batu atau yang semisalnya) dengan darah najis yang beku larangan istijmar dengan kotoran hewan, maka ‘illah dari hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu Mas’ud rodhiAllahu anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dengan dua batu serta sebuah kotoran hewan supaya beliau beristinja’ dengannya, setelah itu beliau mengambil dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut lalu mengatakan: “Ini kotor dan itu najis”.

Yang ‘illah-nya tetap dengan ijma’, misal: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam melarang seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam keadaan marah.

Maka qiyas dilarangnya qodhi yang menahan kencing dari memutuskan perkara, terhadap larangan qodhi yang sedang marah dari memutuskan perkara merupakan qiyas jali karena ‘illah ashl-nya tetap dengan ijma’ yakni adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati.

Yang dipastikan ‘illah-nya dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabangnya, misal: Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak yatim dengan membeli pakaian, terhadap pengharoman menghabiskannya dengan membeli makanan karena kepastian perbedaan antara keduanya.


2.      Qiyas Khofi (samar)

Merupakan qiyas yang ‘illah-nya tetap dengan istimbath (penggalian hukum) dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabang.

Misal: mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam pengharaman riba dengan ‘illah sama-sama ditakar, maka penetapan ‘illah dengan takaran tidak tetap dengan nash, tidak pula dengan ijma’ dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. Bahkan kemungkinan untuk membedakan keduanya, yakni bahwa gandum dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan.