Tumbuh bersama Allah.
Bersama Allah aku tumbuh.
Tumbuh dari keluarga biasa, hidupku selama 17 tahun ini kulalui bersama-Nya.
|
Tumbuh Bersama Allah |
Berbicara soal
keagamaan, sejak kecil kedua orangtuaku sudah tentu menjadi madrasah pertama
yang tak kenal henti membimbing dan menuntunku untuk melangkahkan kaki hanya
pada jalan-Nya. Setiap sore aku mengaji di sebuah surau yang bisa dikatakan
tidak dekat dari rumahku. Bersama teman-teman yang bersemangat, rasa lelah
hampir tak pernah menyusup masuk didiriku saat itu. Kami berbaur, bersila dan
dengan ceria mengikuti apa saja yang diisyaratkan oleh sang ustadz. Nakal
adalah wajar pada usia kami, namun bersama-Nya kami membaca, kami menghafal dan
kami memeluk mushaf Al-Qur’an tercinta. Hanyut dalam sujud suci yang mungkin
belum kami resapi sepenuhnya, hingga malam pada akhirnya mengizinkan kami
kembali kepada sosok-sosok luar biasa yang sedang menunggu dirumah.
Hari
demi hari kulalui. Jilbab kulepaskan. Saat hendak mengaji aku memakainya lagi.
Aku belajar di sekolah seperti halnya anak-anak lain. Dan bersama-Nya, tak begitu
sulit bagiku mendapatkan sebuah gelar ‘rangking’ atau ‘bintang kelas’. Aku tak
berfikir banyak, yang kutahu hanya bagaimana agar aku bisa melihat kedua orang
tua dan adikku tersenyum bangga menyambutku dengan segulungan buku yang dibalut
sampul tipis berwarna coklat yang kugenggam, lalu memelukku, sungguh cukup dengan itu
aku saja akan merasa luar biasa senang. 6 tahun duduk dibangku sekolah dasar,
aku pun diluluskan. Hingga sebuah hari baru datang.
Tak
seperti biasanya, pagi ini aku mengenakannya, jilbab. ‘Pondok Pesantren Terpadu
Ushulludin’, sepasang mataku antusias menatap tulisan itu. Aku berada disini
sekarang. Berbaur bersama banyak warna dari seluruh penjuru Lampung hingga
beberapa bagian Sumatera lainnya, aku menjadi Santri. Mengenakan jilbab setiap
saat, 2 kali bersekolah, mengaji, belajar setiap malam, sholat malam, puasa,
berangkat sekolah atau sholat tepat waktu karena dihitung oleh Mudabbiroh, berbahasa Arab dan Inggris,
menghafal mufrodat, bekerja bakti, hingga berbaris untuk mendapatkan makan
adalah rutinitas baruku saat itu.
Aku nyaman, Sungguh.
Jilbab itu melindungiku. Rasanya sama sejak kecil, tak pernah berkurang
kenyamananku saat memakainya. Hari demi hari, bulan demi bulan aku lalui sudah
di Pondok Pesantren di Lampung Selatan ini, terpisah jauh dari orang tua dan
dijenguk setiap 4 bulan sekali karena jauhnya jarak, membuatku terlatih untuk
mandiri dan tegar. Dengan dibekali uang 5000 rupiah perminggunya--permintaanku sendiri-- aku belajar
berhemat, tidak manja dan akhirnya berinisiatif untuk mendapatkan uang dengan
usahaku sendiri. Aku selalu mencatat apa saja yang Mudir sampaikan saat upacara atau kegiatan di masjid, sehingga saat
setiap minggunya seluruh santri berkumpul, aku sering maju menjawab pertanyaan
dari Mudir yang mana dihadiahkan uang
10.000 rupiah, tidak hanya itu, hobi menggambarku ternyata dilirik oleh
teman-teman asrama, banyak dari mereka yang merequest untuk digambari sesuatu, saat sudah jadi mereka memberiku
uang, coklat, snack atau Ice Cream. Sungguh menyenangkan, Allah memudahkanku
berkali-kali.
Hingga sebuah masalah
mengujiku dan keluarga. Sudah hampir 1 tahun aku di Pesantren, sesuatu seolah
menarikku untuk keluar dari Ma’had
hijau tercinta. Terlalu pelik hingga aku tak bisa menguraikannya dalam tulisan
ini. Pihak pesantren yang mendengar berita soalku yang hendak keluar rupanya
menerka-nerka, hingga mengadakan rapat yang khusus membicarakan tentangku.
Ustadz Saiful selaku wali kelasku berkata bahwa aku dibebaskan dari biaya pokok
Pesantren jika tetap bertahan. Ku hembuskan nafas berat, bagaimanapun keadaan
lebih kuat menarikku untuk keluar, bukan sekedar soal ekonomi, lebih dari itu.
Aku pun pada akhirnya benar-benar keluar dari menjadi santri dan melanjutkan ke
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Rajabasa sekaligus pindah rumah dari
kabupaten Tulang Bawang ke Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Allah, aku tahu Engkau bersamaku. Selalu.
Di SMP sangatlah
berbeda. Jilbab adalah pemandangan asing unuk sepasang mataku. Bisa dihitung
berapa banyak siswi yang mengenakannya. Di bawah 9 bahkan. Namun aku tak
mengapa, lagi pula seluruh pihak menyambutku dengan baik. Banyak teman-teman
yang menyenangkan disini, aku suka bersahabat dengan mereka yang ceria dan apa
adanya. Kami belajar bersama. Keindahan alam di lingkungan baruku memberi aura
positif. Pegunungan, laut, sumber mata air, pulau-pulau, udara yang segar,
jalan yang bagus, MasyaAllah sungguh bersyukur aku terhadap-Nya.
Alhamdulillah ujian
semester selesai dan aku mendapat juara umum 1. Tidak menyangka karena aku anak
baru di sekolah ini. Aku bersyukur berkali-kali dan tersenyum lebih lebar saat
melihat ayahku yang juga tengah tersenyum. Menduduki kelas 8, aku mulai
berorganisasi. Aku tertarik untuk menjadi bagian di 3 organisasi, salah satunya
Rohani Islam (ROHIS). Setiap hari kamis kami melingkar, mengaji al-Qur’an dan
mengkaji apa saja seputar Islam, ini adalah ‘Liqo’/Halaqah’ begitulah kata Murabbiku. Hingga aku bahkan tak pernah
menyebut nama ROHIS saat izin ke orang tua, aku meminta izin mereka untuk Liqo’
dan Alhamdulillah mereka selalu mengizinkan. Namun, perlahan lingkaran itu
mengecil diameternya, aku menatap nanar punggung-punggung mereka yang
memisahkan diri, sementara Liqo’ baru berjalan beberapa kali. Sudah kuingatkan,
namun kata ‘sibuk’ sukses mengalahkan. Hingga Liqo’ kami pun mati sungguhan. Kehidupan
SMP berlalu dengan menyisakan banyak kenangan. Menyenangkan, lucu, menyedihkan
dan banyak sekali hal-hal lain yang akan selalu kurindukan.
Melanjutkan misi
menuntut ilmu, urutan ke 107 aku diterima
di SMA Negeri 1, SMA unggulan yang banyak dituju, SMA Negeri 1 Kalianda rumah
ilmuku selanjutnya. Berbeda, sungguh. Aku bertemu banyak orang-orang tangguh.
Berbaur bersama anak-anak pejabat daerah dengan kemampuan akademik yang luar
biasa. Lalu, aku bisa apa?. Hari itu MOS terakhir, seluruh organisasi sibuk
mempromosikan keunggulannya masing-masing. Namun ada 1 yang membuatku tertarik,
mereka berbeda dari yang lain. Penampilan, cara bersikap, penyampaian dan
kejutan lain yang diberikan membuatku langsung menjatuhkan pilihan. Disini aku
seharusnya. 'ROMANSA' (Rohis SMAN 1 Kalianda), itulah nama mereka, yang dengan
melihatnya saja bisa menyejukkan hati dan mata.
Beberapa waktu kemudian,
aku berhasil memetik hasil. Aku berada bersama mereka yang istimewa. Anak
masjid katanya, tukang ngaji, marbot, jilbab gede, sok suci, aktivis, teroris.
NO!. Berat ternyata, serius!. Ada sekian newton amanah yang harus kami pikul
sementara banyak dari mereka memandang sebelah mata. Kami di fitnah oleh media,
tv berita. Kami yang benci anarkis di lebeli teroris. Allah, kuatkan.
Beberapa waktu berlalu, kian banyak yang menggerutu, internal kami tak lagi
satu. Banyak yang memilih keluar karena berbagai alasan dan ulasan. Aku paksa
diri untuk mengerti mencoba memahami, hidup adalah pilihan. Tapi sering terbesit di benakku, tahukah mereka?,
aku bahkan sering diingati ayahku untuk keluar dari ROHIS, seperti yang kuduga
ayahku pun menjadi korban media. Karena rasa sayanganya, dia mengkhawatirkanku
bakal terjerat sesuatu yang aneh-aneh, jadi teroris, atau jadi kader politik partai
pendiri ROHIS, dll, terlebih karena aku yang sering pulang terlambat
dibandingkan siswa lain yang tak berorganisasi. Aku tersenyum dan mencoba
menjelaskan. Dampaknya didiamkan bahkan pernah, dan beberapa tanggapan lain yang sejatinya tiada pernah kuharapkan. Sungguh tidak nyaman rasanya,
tapi, yah, akan kubuktikan ketidakbenaran seluruh anggapan. Semoga jalan yang
aku pilih menjadikanku sebagai manusia yang terpilih, oleh-Nya yang Maha kasih.
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ø¥ِÙ†ْ تَÙ†ْصُرُوا اللَّÙ‡َ
ÙŠَÙ†ْصُرْÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙŠُØ«َبِّتْ Ø£َÙ‚ْدَامَÙƒُÙ…ْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad: 7). Itu adalah satu dari
banyak motivasi kami. Kami mencoba peduli dan membuka mata hati, bahwa dahwah
harus terus berjalan. Kami mulai dari berdakwah lingkungan dalam dan melibatkan
seluruh lapisan muslim sekolah dengan agenda-agenda mingguan sampai bulanan
seperti dakwah diatas kertas (daktas), Bina Baca Qur’an (BBQ), Keputrian,
Latihan khutbah Jum’at, Rihlah, dll. Hingga sayap kami lebarkan.
Aku bersama ROHIS angkatanku bergabung di FOSAR (Forum
Silaturrahmi Antar Rohis) Lampung Selatan. Drai sana, aku menemukan banyak
istilah, dari satu yang sudah pernah kudengar sebelumnya hingga beberapa yang
baru pertamakalinya terdengar olehku. Istilah tersebut seperti Liqo’, Taskif,
Mabit, ODOJ dan lain-lain.
Liqo’ sudah rutin kujalani. Setiap seminggu sekali,
kami mengaji, mendapat pengetahuan keislaman baru, menyetorkan hafalan
al-Qur’an dan mutaba’ah mingguan,
mendapat iqob, hihii. Hingga suatu hari, kami sampai pada suatu materi, tentang
wanita. Ya, materi tentang wanita yang membuatku merasa tertohok. Kutengok jilbabku. Dan Bismillah, aku menatap gerbang
hijrah.
Aku masih mengingatnya. Jelas. Qs. An-Nur : 31, dan Qs. Al-Ahzab : 59
tentang perintah Allah untuk berhijab syar’i. Kerudung menutup dada tidak
transparan, menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, tidak
berpaian ketat dan tidak tabarruj. Dan
Bismillah, aku berhijrah. Perlahan
kurubah penampilanku dengan cara yang aku bisa. Lantas bagaimana dengan
tanggapan sekitar?. Jawabannya mayoritas kontra!. Bahkan ketika hendak
menggunakan kaus kaki saat ke warung, aku dikira sedang sakit oleh Ibuku. Tapi
aku bersyukur ibuku pada akhirnya membebaskan dan malah mendukung setelah
kujelaskan. Namun sejak itu, setiap memandang Ibu, aku merasa ada tugas penting
yang belum ku tunaikan. Ibuku tersayang, masih belum menggunakan hijab.
Silih berganti hari, silih berganti alam terus
berubah. Makin banyak teman-temanku yang mengulurkan jilbabnya. Sementara itu,
aku terus tumbuh dengan nyaman bersama pakaian longgar yang seakan menjadi
benteng. Entah mengapa, selalu malu ketika hendak melakukan hal negatif. Malu
dengan jilbabku, lebih malu lagi pada Allah yang selalu menyertaiku. Jilbab
yang membuatku dikatakan seperti ibu-ibu oleh saudaraku itu melindungiku dari
berbuat berlebihan, melindungiku dari keusilan laki-laki, membuatku merasa
dihormati daripada diminati, nyaman sekali dan membimbingku untuk terus
memeriksa ruhiyah, memperbaiki yang salah dan mensyiarkan agama Allah dengan
jalan yang indah. Bismillah, aku akan
berubah. Jangan jadi mudah marah, jangan mudah gelisah, jangan berkeluh kesah,
orang tua jangan dibantah, menjauhkan diri dari fitnah meski cinta adalah
fitrah serta terus berupaya untuk pantang menyerah.
Tahun terakhir di SMA, Alhamdulillah azamku
tercapai. Ibuku sudah berjilbab. Dan pandangan ayahku yang semula negatif
terhadap organisasiku terbarter dengan pandangan positif. Keluarga kecilku
mendukungku. Masa SMA yang luar biasa kutinggalkan dengan senyum berjuta makna.
Allah, terimakasih.
Terus tumbuh bersama Allah.
Membuka lembaran baru bersama
Allah.
Hingga saat ini aku duduk di
bangku kuliah. Alhamdulillah.
Selalu berharap menjadi
pribadi yang lebih baik setiap waktunya. Dengan menjadi diri sendiri, aku ingin
berdakwah. Mensyiarkan hal-hal baik. Dengan media semoga menjadi lebih efektif.
Meluruskan niat, menuntut ilmu, menjadi berguna untuk keluarga dan sesama,
menjadi muslimah sholehah yang tidak lemah, menjadi calon ibu yang bermutu, dan menjadi manusia biasa yang dirindukan syurga, semoga semuanya lancar terlaksana. Aamiin
Bismillahirrahmanirrahim. Bersama engkau ya Allah, saksikanlah aku dan sekian perjuangan. Aku ingin terus berpijak di jalan-Mu. Tumbuh bersama-Mu.